
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengajukan syarat terkait tuntutan mundur dari jabatannya. Dalam konferensi pers yang diadakan di Bandara Stansted, Inggris, Zelensky menyatakan kesediaan untuk menukar posisinya dengan keanggotaan NATO bagi Ukraina. Pernyataan ini ia sampaikan usai menghadiri pertemuan puncak Eropa mengenai Ukraina pada Minggu (2/3/2025). Pembicaraan mengenai kemungkinan mundurnya Zelensky muncul setelah adanya desakan dari pejabat dan anggota Kongres AS yang meminta agar ia mengundurkan diri jika tidak mematuhi instruksi dari Washington.
Zelensky secara tegas menyatakan bahwa untuk memenuhi misinya, ia perlu memastikan keanggotaan NATO bagi Ukraina. “Ada kemungkinan untuk menukar posisi saya dengan keanggotaan NATO bagi Ukraina. Hanya dengan melakukan itu saya akan memenuhi misi saya,” ungkapnya. Pernyataan ini mencerminkan ketegangan yang meningkat dalam hubungan internasional, terutama antara Ukraina dan AS, menyusul kritik yang dilontarkan oleh beberapa anggota parlemen AS.
Tuduhan terhadap Zelensky bahwa ia tidak melakukan hal cukup untuk mengakhiri konflik dengan Rusia semakin mengemuka. Mike Waltz, Penasihat Keamanan Nasional AS, menilai bahwa Washington memerlukan seorang pemimpin yang mampu bekerja sama dalam menyelesaikan kesepakatan dengan Rusia. Beberapa tokoh dari Partai Republik, di antaranya Senator Lindsey Graham dan Ketua DPR Mike Johnson, berpendapat bahwa Zelensky seharusnya mengundurkan diri agar posisi kepemimpinan Ukraina dapat diisi oleh sosok yang lebih kooperatif dengan AS.
Graham mengulangi pendapatnya di layar publik dengan menyatakan, “Dia harus mengundurkan diri, atau mengirim seseorang yang bisa bekerja sama dengan kita, atau dia harus mengubah dirinya sendiri.” Retorika ini menunjukkan bahwa tekanan kepada Zelensky semakin besar, menuntut tindakan konkret di tengah situasi yang mendesak bagi negaranya yang masih terjerat dalam konflik berkepanjangan.
Dalam tanggapannya, Zelensky mengolok-olok usulan para politisi AS dengan menyebut bahwa mereka lebih baik menjadi warga Ukraina jika ingin memberikan masukan terkait kepemimpinan di negaranya. “Suaranya akan berbobot. Saya akan mendengarkannya sebagai warga negara Ukraina tentang siapa yang seharusnya menjadi presiden,” balasnya dengan nada sarkastik. Hal ini menunjukkan ketegangan yang dirasakan Zelensky terkait scrutin terhadap tidak hanya kepemimpinannya tetapi juga kebijakan luar negeri Ukraina.
Sebagai mantan pemimpin yang terlibat dalam hubungan rumit dengan AS, Zelensky sebelumnya telah mengalami konflik dengan mantan Presiden Donald Trump, yang menghasilkan ketegangan dalam hubungan bilateral di Gedung Putih. Pertemuan yang gagal tersebut dapat memicu berlanjutnya ketegangan dan bahkan memengaruhi penandatanganan kesepakatan mineral penting antara kedua negara.
Dalam konferensi pers, Zelensky mengakui bahwa situasi terjadi di Ruang Oval saat pertemuan tersebut tidak bermanfaat bagi kedua negara dan menegaskan hasil negatifnya. “Kami telah berbicara secara terbuka dan jujur. Namun, saya mengakui bahwa kekacauan di Ruang Oval hari itu tidak membantu kedua negara,” tegasnya, menunjukkan sikap resiliens terlepas dari banyaknya tekanan yang mengelilinginya.
Konsekuensi dari situasi politik ini menciptakan ketidakpastian di dalam negeri Ukraina, yang masih dalam suasana perang. Para analis menyebutkan bahwa keputusan untuk mengundurkan diri akan menjadi pembahasan yang kompleks, mengingat situasi saat ini yang tidak hanya menyangkut perpolitikan domestik Ukraina tetapi juga dinamika geopolitik yang lebih luas antara Rusia dan negara-negara Barat. Proses pemilihan umum di tengah peperangan dipastikan bukanlah hal yang sederhana, dan akan memengaruhi masa depan negara tersebut secara signifikan.