Akui Ditertawai, Eks Menteri Israel Tawarkan Insentif untuk Palestina

Mantan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, pada Minggu (9/2), mengungkapkan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terkait situasi di Jalur Gaza. Dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Kol BaRama, Ben-Gvir menyatakan bahwa Israel kini telah menjadi “bahan tertawaan” di Timur Tengah dan mempertanyakan kesadaran negara tersebut mengenai reputasinya di kawasan itu.

Ben-Gvir mengomentari tanggapannya terhadap perang di Gaza, menyatakan bahwa ia satu-satunya orang dalam pemerintahan yang menolak memberikan bantuan kemanusiaan kepada wilayah tersebut. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini menjadi lemahnya posisi Israel di mata dunia internasional dan berpotensi menjadi keuntungan bagi kelompok Hamas. “Kami tidak dapat memerintah hanya berdasarkan tekanan eksternal,” ujarnya, merujuk pada tanggapan Netanyahu terhadap tekanan dari Amerika Serikat.

Dalam satu langkah kontroversial, Ben-Gvir menyerukan pelaksanaan program migrasi sukarela bagi warga Palestina di Jalur Gaza. Ia menyatakan, “Kita perlu meluncurkan inisiatif untuk mendorong migrasi sukarela hari ini,” menekankan urgensi situasi yang dihadapi Israel. Dalam pandangannya, tindakan ini akan menjadi solusi bagi masalah yang sedang berlangsung serta memberikan kesempatan baru bagi mereka yang ingin meninggalkan Gaza.

Politisi sayap kanan ini tidak segan-segan untuk mengkritik pendekatan pemerintah saat ini dan mengusulkan insentif migrasi. Dalam konteks ini, Partai Otzma Yehudit yang dipimpinnya telah mengajukan RUU di Knesset dengan mendapatkan dukungan untuk memberikan bantuan keuangan kepada penduduk Gaza yang memilih untuk beremigrasi. RUU tersebut berisi ketentuan bahwa setiap orang yang memilih untuk meninggalkan Gaza akan mendapatkan paket bantuan dari Kementerian Keuangan Israel.

Program migrasi yang dirancang oleh Ben-Gvir ini juga mendapat referensi dari pernyataan Presiden AS Donald Trump yang pernah menyebutkan rencana pemukiman kembali warga Palestina di tempat lain untuk meningkatkan kondisi hidup mereka. “Presiden Trump mengatakan masih ada waktu, tetapi demi kepentingan Israel, kita tidak punya waktu untuk disia-siakan,” jelasnya. Pasalnya, Ben-Gvir berargumen bahwa tindakan cepat perlu diambil untuk mengatasi keadaan kritis yang ada.

Kritik terhadap ide ini datang tidak hanya dari warga Palestina, tetapi juga dari berbagai negara di dunia. Usulan migrasi sukarela tersebut mendapat kecaman luas dari negara-negara Arab serta banyak negara barat seperti Kanada, Prancis, Jerman, dan Inggris, yang khawatir bahwa kebijakan tersebut berpotensi memperburuk ketegangan di kawasan.

Ben-Gvir, yang sebelumnya mengundurkan diri dari pemerintahan sebagai bentuk penolakan terhadap gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tahanan, kini berkomitmen untuk tidak kembali ke posisi pemerintahannya sampai ada jaminan untuk menghancurkan Hamas. Dengan keberanian dalam pandangannya, ia berharap bisa membawa perubahan signifikan dalam kebijakan israel terhadap Gaza.

Situasi di Gaza saat ini tetap menghadapi tantangan yang kompleks dan berbagai masalah kemanusiaan yang mendalam, yang seharusnya mendapatkan perhatian serius dari komunitas internasional. Upaya untuk menawarkan insentif migrasi bagi warga Palestina dapat menghadirkan sebuah diskusi besar tentang hak asasi manusia dan status politik yang lebih luas di kawasan Timur Tengah.

Melalui kebijakan-kebijakan yang diusulkan, Ben-Gvir dan Partai Otzma Yehudit berusaha mengubah dinamika yang ada di Gaza, namun dengan kritik dan penolakan yang terus-menerus muncul, masa depan kawasan ini tetap penuh dengan ketidakpastian. Pertanyaan tetap muncul: apakah pendekatan ini akan benar-benar membawa solusi atau justru memperburuk konflik yang sudah berkepanjangan?

Exit mobile version