Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan penurunan yang cukup signifikan pada penutupan perdagangan Kamis, 6 Februari 2025. IHSG tertekan sebanyak 148,69 poin atau 2,12% menjadi 6.875,54, sementara indeks 45 saham unggulan, LQ45, turun 23,83 poin atau 2,97% ke posisi 777,64. Penurunan ini terjadi di tengah penguatan bursa saham kawasan Asia dan global yang menjadi perhatian pelaku pasar.
Sejumlah faktor domestik menjadi pemicu lemahnya IHSG. Tim Riset Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan bahwa pasar tengah menghadapi kekhawatiran terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,03% pada tahun 2025. Pertumbuhan yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ini lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, 2023 dan 2022, yang masing-masing mencatatkan pertumbuhan 5,05% dan 5,31% year on year (yoy).
Dampak dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 mengenai efisiensi belanja serta pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang mencapai Rp306 triliun juga menjadi sorotan. Banyak yang khawatir bahwa kebijakan ini akan mempengaruhi program-program kerja pemerintah yang penting dan berpotensi menyebabkan pemangkasan anggaran yang tidak selektif. Hal ini diharapkan dapat berdampak negatif terhadap investasi publik, penciptaan lapangan kerja, produktivitas tenaga kerja, dan daya beli masyarakat.
Meskipun situasi di dalam negeri kurang menggembirakan, bursa saham di kawasan Asia menunjukkan penguatan. Indeks Nikkei di Jepang menguat 235,05 poin atau 0,61% ke level 39.066,53, indeks Shanghai melonjak 41,17 poin atau 1,27% ke posisi 3.270,66, sementara indeks Kuala Lumpur bertambah 10,66 poin atau 0,68% ke posisi 1.585,17. Indeks Straits Times di Singapura juga mengalami kenaikan sebesar 15,05 poin atau 0,39% ke level 3.830,42.
Salah satu penyebab di balik penguatan bursa Asia adalah data ekonomi dari Amerika Serikat (AS) yang menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Data aktivitas sektor jasa AS menunjukkan penurunan yang tidak terduga pada bulan Januari 2025, dengan purchasing managers index (PMI) non-manufaktur turun menjadi 52,8 dari 54,0 di bulan Desember. Ini memberikan peluang bagi pelaku pasar untuk merespon dengan harapan akan kebijakan moneternya yang lebih longgar.
Meredanya ketegangan dalam perang dagang global juga turut memberikan sentimen positif di pasar, setelah penundaan dalam diskusi antara Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Ekspetasi yang berkembang menunjukkan potensi pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve semakin memberikan dorongan bagi pasar saham di kawasan Asia.
Namun, di pasar domestik, sektor-sektor terlihat bergerak ke arah yang berbeda. Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, dua sektor yang mengalami kenaikan terbesar adalah sektor kesehatan dengan peningkatan sebesar 0,65% dan sektor teknologi yang naik sebesar 1,11%. Sementara itu, sembilan sektor lainnya mengalami penurunan, dengan sektor keuangan tertekan hingga minus 2,43%. Selain itu, sektor industri dan barang baku masing-masing turun sebesar 2,37% dan 2,36%.
Di sisi volume perdagangan, frekuensi tercatat mencapai 1.420.000 transaksi, dengan total saham yang diperdagangkan mencapai 19,54 miliar lembar senilai Rp13,73 triliun. Meskipun ada penguatan di beberapa saham seperti BUVA, AIMS, SAFE, OBAT, dan SONA, banyak saham lain yang mengalami penurunan tajam, di antaranya BEBS, NZIA, KOTA, JGLE, dan LMPI.
Kondisi IHSG yang mengalami penurunan di tengah penguatan bursa Asia dan global menunjukkan adanya ketidakpastian yang melanda pasar domestik. Sementara itu, investor tetap berharap adanya kebijakan yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas pasar saham ke depannya.