Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini membuat pernyataan kontroversial yang mengusulkan agar AS mengambil alih kepemilikan Jalur Gaza, yang saat ini dilanda konflik berkepanjangan. Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa, 4 Februari 2025, Trump menyatakan bahwa AS akan berkomitmen untuk mengembangkan wilayah tersebut secara ekonomi setelah memindahkan lebih dari dua juta warga Palestina ke negara-negara tetangga.
Pernyataan ini menjadi berita utama tidak hanya karena isinya yang mengejutkan, tetapi juga karena potensi dampaknya terhadap dinamika geopolitik di Timur Tengah. Trump menyebut Jalur Gaza sebagai "lokasi pembongkaran" dan berharap untuk mentransformasi wilayah yang dilanda perang menjadi pusat pembangunan ekonomi.
Rencana pengambilalihan Gaza ini diperkirakan akan menghadapi penolakan keras dari banyak pihak—baik sekutu maupun musuh AS. Tidak hanya akan menjadi tantangan bagi kebijakan luar negeri AS selama puluhan tahun, tetapi juga memicu pertanyaan tentang masa depan hubungan antara negara-negara Arab, seperti Arab Saudi, dan Israel.
Saat berbicara kepada wartawan, Trump menyatakan, "AS akan mengambil alih Jalur Gaza, dan kami juga akan melakukan pekerjaan di sana. Kami akan memilikinya dan bertanggung jawab untuk membongkar semua bom berbahaya yang belum meledak dan senjata lainnya di lokasi tersebut."
Dalam pandangan Trump, proyek ini tidak hanya soal pengambilalihan, tetapi juga mengenai penciptaan lapangan kerja dan stabilitas bagi seluruh kawasan. "Kami akan mengembangkannya, menciptakan ribuan dan ribuan lapangan kerja, dan itu akan menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan oleh seluruh Timur Tengah," imbuhnya. Trump menggambarkan Gaza dengan optimisme, menyebutnya sebagai area potensial yang dapat berkembang menjadi "Riviera Timur Tengah."
Namun, pertanyaan-putar kebijakan dan pelaksanaan rencana ini masih menggantung. Bagaimana AS dapat mengatur pengambilalihan tersebut? Wilayah Gaza, yang membentang sepanjang 45 km dan memiliki lebar maksimum 10 km, memiliki sejarah kekerasan yang panjang. Di masa lalu, pemerintahan AS—termasuk yang dipimpin Trump dalam masa jabatannya yang pertama—menolak untuk mengerahkan pasukan di sana, mengingat kompleksitas situasi yang ada.
Netanyahu, dalam kesempatan yang sama, tidak banyak membahas usulan Trump secara mendalam. Meski demikian, ia memuji Trump, menekankan bahwa pemimpin AS itu memperkenalkan ide-ide baru dan "menunjukkan kemauan untuk menghancurkan pemikiran konvensional."
Rencana pengambilalihan Gaza oleh AS ini jelas menciptakan ketegangan di tengah upaya untuk mencapai perdamaian yang lebih stabil di kawasan tersebut. Tindakan ini berpotensi mengubah arah diplomasi antara Israel dan negara-negara Arab, serta mengguncang persepsi publik di negara-negara Muslim mengenai kebijakan AS di Timur Tengah.
Beberapa poin penting terkait rencana ini meliputi:
-
Pengusulan Pemindahan: Trump mengusulkan pemindahan warga Palestina dari Gaza ke negara-negara tetangga, yang tentunya akan menimbulkan perdebatan etis dan praktis.
-
Tanggung Jawab AS: Gagasan bahwa AS akan membongkar senjata dan merestorasi infrastruktur di Gaza menunjukkan langkah proaktif, namun pertanyaan tentang otoritas tetap tidak terjawab.
-
Dampak terhadap Stabilitas Regional: Potensi pengambilalihan bisa memicu ketegangan baru di wilayah yang sudah tidak stabil, serta berimplikasi pada hubungan internasional AS dengan negara-negara di sekitarnya.
- Sikap Sekutu: Terdapat ketidakpastian tentang bagaimana sekutu-sekutu tradisional AS, termasuk negara-negara Arab, akan bereaksi terhadap langkah-langkah yang diambil oleh AS di Gaza.
Dengan situasi yang sedang berkembang, pengumuman ini membuka banyak pertanyaan mengenai masa depan Jalur Gaza dan keseimbangan politik di Timur Tengah. Penegasan Trump tentang kepemilikan AS di wilayah tersebut, jika dilaksanakan, akan menjadi babak baru dalam konflik yang sudah berlangsung lama ini.