Aleksey Arestovich, mantan ajudan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, baru-baru ini membuat pernyataan mengejutkan yang menyiratkan bahwa Ukraina berencana untuk meledakkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) jika negara itu mengalami kekalahan dalam konflik yang berkepanjangan dengan Rusia. Dalam wawancara dengan jurnalis Alexandr Shelest, Arestovich mengungkapkan klaim tersebut, yang mengaitkan ide tersebut dengan Kepala Intelijen Ukraina, Kirill Budanov.
Arestovich menyatakan bahwa Budanov telah mengajukan gagasan tersebut lebih dari satu tahun yang lalu. “Mereka telah merencanakan untuk meledakkan semua PLTN jika Ukraina mulai kalah,” ungkap Arestovich. Menurut klaimnya, rencana tersebut mencakup meledakkan PLTN di Ukraina dan yang dikuasai Rusia yang dapat dijangkau, dengan tujuan menghindari agar fasilitas-fasilitas ini tidak jatuh ke tangan musuh. “Prinsipnya: kita semua akan menderita, tetapi mereka juga akan menderita,” tegasnya.
Pernyataan ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan dan kekhawatiran terkait keamanan nuklir di wilayah tersebut, terutama menyangkut Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporozhia (ZNPP) yang saat ini berada di bawah kendali Rusia. Arestovich mengklaim bahwa Amerika Serikat, dalam hal ini, berusaha untuk mencegah potensi bangkitnya bencana nuklir yang dapat diakibatkan oleh perseteruan antara Ukraina dan Rusia. Ia menyoroti bahwa AS lebih tertarik untuk menjaga keamanan PLTN daripada sekadar mengambil alih fasilitas tersebut demi kepentingan politik.
“Orang-orang di Washington melihat kepemimpinan Ukraina saat ini seperti kera dengan granat,” lanjut Arestovich. Ia merasa bahwa kebijakan AS dapat beragam tergantung pada siapa yang memimpin, dengan pemerintahan Trump yang dianggap lebih blak-blakan dibandingkan kepemimpinan Demokrat yang lebih halus tetapi masih memiliki tujuan yang sama.
Mantan ajudan ini juga merespon pernyataan President Trump mengenai perlunya Amerika untuk mengambil alih PLTN di Ukraina. Dalam wawancara tersebut, Trump menegaskan bahwa AS bisa berperan penting dalam memelihara dan mengelola PLTN di Ukraina, menggunakan keahlian yang dimilikinya. Namun, Zelensky menanggapinya dengan memberikan versi yang kontras, menyatakan bahwa pembicaraan mereka tidak lebih dari diskusi mengenai potensi investasi Amerika di ZNPP dan bukan tentang penguasaan fasilitas secara keseluruhan.
Kekhawatiran mengenai PLTN Zaporozhia memang sangat mendalam, mengingat bahwa ZNPP adalah fasilitas nuklir terbesar di Eropa. Sejak Maret 2022, tempat ini berada di bawah kontrol Rusia, dan pada musim gugur 2022, wilayah Zaporozhia bersama tiga wilayah lainnya memutuskan untuk bergabung dengan Rusia melalui referendum yang kontroversial. Tindakan ini tidak hanya memperburuk hubungan antara Ukraina dan Rusia tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya insiden nuklir yang berbahaya.
Rusia telah menuduh Ukraina berulang kali menargetkan ZNPP, dan menyebut aksi tersebut sebagai bentuk “terorisme nuklir”. Hal ini disangkal oleh Ukraina, yang mengklaim bahwa Rusia yang mengincar fasilitas nuklir tersebut untuk menciptakan ketegangan lebih lanjut. Dalam konteks ini, pernyataan Arestovich semakin menambah kompleksitas situasi dan kekhawatiran akan konsekuensi dari konflik yang sedang berlangsung.
Dalam perkembangan lainnya, Rusia dan Ukraina terus berdebat mengenai keamanan dan status PLTN, dengan kedua belah pihak saling menyalakan tuduhan yang menunjukkan bahwa masing-masing menganggap pihak lawan sebagai ancaman bagi keselamatan nuklir di kawasan tersebut. Sementara itu, dunia internasional terus memantau situasi ini dengan khawatir, mengingat dampak bencana nuklir tidak hanya akan dirasakan di regional tersebut, tetapi juga akan memiliki implikasi luas bagi stabilitas global.