Eks Penyidik KPK: Paulus Tannos Terancam Dijerat Perintangan Penyidikan

Jakarta, Podme.id – Mantan Penyidik KPK, Praswad Nugraha, mengungkapkan bahwa buronan kasus korupsi KTP Elektronik (e-KTP), Paulus Tannos, dapat dijerat dengan pasal perintangan penyidikan setelah diduga memiliki kewarganegaraan ganda. Tannos yang saat ini dalam proses ekstradisi diketahui telah merubah status kewarganegaraannya dengan tujuan untuk menghindari jeratan hukum.

“Upaya perubahan status warga negara yang dilakukan Paulus Tannos dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana, yaitu pasal 21 tentang upaya menghalang-halangi penyidikan,” ujar Praswad Nugraha saat wawancara pada Selasa, 28 Januari 2025. Menurutnya, tindakan yang dilakukan Tannos untuk kabur dari tanggung jawab hukum menunjukkan keinginan kuat untuk menghindari proses penyidikan yang sedang berlangsung. Dikatakan bahwa Paulus Tannos rela merubah status kewarganegaraannya demi lepas dari jeratan hukum KPK.

Praswad menjelaskan lebih lanjut bahwa tindakan Tannos ini merupakan tindak pidana berlapis. “Tindakan Tannos yang berusaha kabur dan buron serta merubah status kewarganegaraan setelah melakukan tindak pidana di Indonesia adalah tindak pidana berlapis, selain tindak pidana pokoknya, yaitu korupsi e-KTP,” tegas Praswad.

Kasus Paulus Tannos bermula ketika ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek e-KTP pada tahun 2019 bersama sejumlah nama besar lainnya seperti Sugiharto dan Setya Novanto. Dalam perannya sebagai salah satu konsorsium pelaksana proyek, Tannos dipandang sebagai pihak yang mengambil keuntungan dari penyimpangan anggaran.

Proses hukum terhadap Tannos sempat terhambat ketika ia melarikan diri ke luar negeri setelah ditetapkan sebagai tersangka. Upaya KPK untuk mengeluarkan Red Notice kepada Interpol untuk menangkapnya pada tahun 2022 tidak membuahkan hasil karena Tannos mengajukan banding. Namun, pada awal tahun 2023, tim penyidik SPPK berhasil menemukan jejaknya di Bangkok, Thailand. Akan tetapi, saat ditangkap, dikenal bahwa Tannos telah beralih kewarganegaraan dan menggunakan paspor Guinea-Bissau, yang menyebabkan pihak berwenang di Bangkok kesulitan melakukan penangkapan.

“Perlu digarisbawahi, Paulus Tannos pada saat melakukan tindak pidana korupsi e-KTP berstatus sebagai WNI. Tindak pidana tersebut dilakukan di wilayah Indonesia, sehingga berlaku asas Nationalsitas Aktif, tidak perduli apapun status warga negaranya sekarang,” tambah Praswad.

Menyusul penandatanganan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura pada bulan Februari 2022, dan disahkannya UU No. 5 tahun 2023 yang mengatur perjanjian tersebut, penyidik KPK telah mengajukan permintaan ekstradisi atas nama Tannos, yang saat itu diketahui berada di Singapura. Proses penangkapan Tannos di Singapura berlangsung pada bulan Januari 2025, berkat kerjasama antara Divisi Hubinter Polri dan KPK.

Belakangan, Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Suryo Pratomo, menyatakan bahwa tidak ada kendala dalam proses ekstradisi Paulus Tannos. Saat ini, KPK sedang melengkapi persyaratan yang diperlukan untuk melakukan ekstradisi. KPK juga masih terus melakukan keterbukaan mengenai status Paulus Tannos yang saat ini masih berada di Singapura.

Tannos diketahui telah mengganti identitasnya menjadi Thian Po Tjhin untuk menyamarkan keberadaan. Proses hukum terhadapnya diharapkan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, di mana ia tetap bertanggung jawab atas semua tindakan korupsi yang dilakukannya di Indonesia, tanpa memandang kewarganegaraan barunya. Perkembangan kasus ini terus dipantau oleh masyarakat, terutama terkait bagaimana tindakan hukum lebih lanjut yang akan diambil oleh KPK dan pihak berwenang terkait lainnya.

Exit mobile version