Istri dan Korban Pelecehan Hadir di Sidang Etik Eks Kapolres Ngada

Sidang etik di Majelis Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang membahas kasus mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, menarik perhatian publik, terutama setelah kehadiran istri dan korban pelecehan seksual dalam persidangan. Sidang yang digelar di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan, pada Senin (17/3/2025) ini dihadiri oleh beberapa saksi ahli, termasuk psikolog dan ahli laboratorium, serta istri terduga pelanggar.

Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penmas Divisi Humas Polri, menjelaskan bahwa istri eks Kapolres dan dua ahli lainnya hadir di ruang sidang secara langsung. “Sedangkan lima saksi dan ahli lainnya memberikan keterangan secara daring,” tambahnya. Di antara saksi yang hadir melalui virtual adalah SHDR, korban pelecehan seksual yang berusia 20 tahun.

Proses persidangan ini menjadi sorotan karena melibatkan sejumlah aspek yang kompleks terkait dengan tindakan pelanggaran berat yang dilakukan oleh AKBP Fajar. Ia didakwa melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan juga terlibat dalam perzinahan dengan seorang dewasa.

Berikut adalah beberapa poin penting yang terungkap dalam sidang KKEP tersebut:

1. Kehadiran dan keterangan istri mantan Kapolres, yang turut mengambil bagian dalam proses persidangan, menunjukkan komplikasi personal yang dihadapi oleh keluarga terduga pelanggar.

2. Korban SHDR, yang menjadi salah satu saksi kunci, menghadirkan kesaksian melalui platform daring, menyoroti dampak psikologis yang dialaminya akibat tindakan pelecehan tersebut.

3. Sidang dihadiri oleh beberapa saksi ahli, termasuk psikolog dan ahli kesehatan jiwa, yang memberikan perspektif profesional terkait keadaan mental korban setelah kasus pelecehan ini.

4. Dalam sidang tersebut, keputusan akhir majelis KKEP memutuskan bahwa AKBP Fajar dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari kepolisian, sebagai konsekuensi atas tuduhan pelecehan seksual yang terbukti.

5. Fajar mengajukan banding atas sanksi administrasi ini, menunjukkan bahwa proses hukum dan etik dalam institusi kepolisian masih berlanjut.

Dengan keputusan ini, tindakan tegas Polri diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam penegakan hukum dan keadilan, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan pelecehan seksual.

Brigjen Truno menegaskan pentingnya sidang ini sebagai langkah untuk memastikan akuntabilitas dan integritas dalam institusi Polri. “Kami perlu sampaikan informasi bahwasanya atas putusan tersebut pelanggar menyatakan banding,” ucapnya, menunjukkan bahwa meskipun putusan telah dibuat, proses hukum masih memiliki jalur lanjutan.

Kasus ini mencerminkan tantangan serius yang dihadapi oleh penegakan hukum dalam menangani masalah pelecehan seksual, terutama ketika pelaku merupakan bagian dari aparat penegak hukum itu sendiri. Kehadiran korban dan istri terduga pelanggar dalam sidang ini menjadi sinyal bahwa kasus semacam ini tidak akan dibiarkan berlalu tanpa tindakan yang tegas.

Semangat untuk menegakkan keadilan dan memberikan dukungan kepada korban harus terus diperkuat, tak hanya dalam proses hukum tetapi juga dalam penyuluhan dan edukasi tentang pelanggaran hak asasi manusia. Ini adalah langkah penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa mendatang dan memastikan bahwa kepercayaan publik terhadap institusi keamanan dapat terus terjaga.

Exit mobile version