Efisiensi anggaran menjadi sorotan utama pemerintah saat ini, dengan berbagai langkah diambil untuk memastikan pengelolaan yang lebih baik dan efektif. Namun, dinamika ini menimbulkan perhatian serius terkait Surat Edaran (SE) dari Menteri Dalam Negeri yang baru-baru ini dikeluarkan. SE tersebut memberikan panduan bagi kepala daerah terkait pergeseran anggaran, namun berbagai pihak, termasuk akademisi dan peneliti, menilai bahwa regulasi ini perlu ditangani dengan hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi.
Dr. Ahmad Jamaludin, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara (Uninus), memaparkan bahwa pemahaman mendasar mengenai efisiensi anggaran adalah penyesuaian belanja daerah yang dilakukan melalui pergeseran anggaran. Ia menekankan bahwa semua tahapan efisiensi harus mematuhi berbagai regulasi yang sudah ditetapkan, seperti Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah. “Pergeseran anggaran harus sesuai dengan tahapan atau mekanisme perubahan APBD,” ungkap Ahmad.
Ia juga menyoroti bahwa jika pergeseran anggaran dilakukan tanpa perubahan APBD, hal ini bisa melanggar ketentuan yang ada. “Surat edaran Mendagri membuka ruang pergeseran anggaran melalui perubahan Peraturan Kepala Daerah (Perkada), tetapi hanya dalam keadaan darurat,” tegasnya. Ahmad menilai efisiensi belanja belum bisa dikategorikan sebagai kondisi darurat yang memerlukan tindakan segera.
Fahmy Iss Wahyudi, Dosen FISIP Universitas Pasundan, menambahkan bahwa pelibatan masyarakat dalam proses efisiensi adalah hal yang sangat penting. “Pergeseran anggaran harus transparan dan partisipatif agar output dan outcome jelas untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat,” katanya. Ia mengkhawatirkan bahwa salah satu poin dalam SE tersebut, yang berorientasi penciptaan lapangan pekerjaan, dapat disalahgunakan oleh pemerintah daerah untuk memasukkan kegiatan yang tidak sesuai dengan prioritas.
Ia menegaskan, “DPRD harus dapat menjadi penyeimbang untuk mencegah dominasi kepala daerah dalam pengelolaan anggaran.” Menurut Fahmy, kedudukan SE Mendagri sering kali disamakan dengan peraturan perundang-undangan lain, padahal fungsi dan kekuatannya berbeda. “Jika SE diinterpretasikan secara tidak sesuai dengan aturan yang ada, maka dapat batal demi hukum,” terang Fahmy.
M. Zaky Noor, Koordinator Wilayah ISMAHI Jawa Barat, mengungkapkan bahwa mereka akan mengkaji lebih dalam mengenai SE ini dan mempertimbangkan untuk mengajukan uji materi jika ditemukan kekeliruan. Zaky juga berharap agar Gubernur dapat memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan transparansi pengelolaan anggaran. “Masyarakat perlu tahu setiap detail terkait alokasi anggaran dan keputusan yang diambil oleh pemerintah,” ujarnya.
Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak, termasuk kepala daerah dan DPRD, untuk memahami implikasi dari surat edaran tersebut. Pengelolaan anggaran yang efisien harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, serta sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penerapan SE diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat dan transparansi demi mencapai tujuan akhir, yaitu kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.