Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa pengecer LPG 3 kg, yang biasa disebut "gas melon," merupakan praktik ilegal yang merugikan masyarakat serta mengganggu tujuan distribusi subsidi. Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Achmad Muchtasyar, menjelaskan bahwa keberadaan pengecer tidak memiliki status resmi dalam rantai distribusi, sehingga menjadi pintu masuk penyalahgunaan.
“Pengecer itu statusnya apa sih sebenarnya? Sebenarnya ilegal. Di sinilah pintu masuk penyalahgunaan distribusi LPG 3 kg terjadi. Makanya gas yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu malah bisa dibeli oleh siapa saja,” ungkap Achmad. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan pengecer di lapangan mengganggu distribusi yang seharusnya menguntungkan golongan masyarakat yang berhak menerima subsidi.
Berikut beberapa alasan mengapa pengecer LPG 3 kg dianggap ilegal dan berpotensi merugikan masyarakat:
-
Tidak Ada Status Resmi: Pengecer tidak terdaftar dan tidak diakui dalam rantai distribusi resmi, sehingga tidak ada regulasi yang mengatur operasional mereka.
-
Harga Tidak Terstandarisasi: Tanpa adanya regulasi harga, pengecer dapat menjual LPG 3 kg dengan harga yang jauh lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh pangkalan resmi. Hal ini membuat masyarakat harus membayar lebih untuk gas yang seharusnya mereka akses dengan harga subsidi.
-
Potensi Penyaluran ke Pihak yang Salah: Pengecer dapat menjual gas kepada orang-orang yang sebenarnya tidak berhak menerima subsidi, menyebabkan subsidi yang diberikan oleh pemerintah tidak tepat sasaran.
-
Praktik Penipuan: Dalam beberapa kasus, terdapat pengecer yang berani mencampur gas LPG dengan zat lain demi mengecoh konsumen atau mendapatkan keuntungan lebih.
- Kurangnya Pengawasan: Pengecer tidak berada di bawah pengawasan langsung. Sebaliknya, pangkalan resmi memiliki protokol yang lebih ketat dan sistem kontrol yang lebih baik dalam distribusi LPG.
Akibat maraknya praktik pengecer ilegal, harga LPG 3 kg di pasaran melonjak tinggi. Achmad menegaskan bahwa harga di pangkalan resmi yang dikelola oleh Pertamina jauh lebih terjangkau karena sudah diatur sesuai kebijakan pemerintah. Dengan keberadaan pengecer, harga LPG tidak dapat dikendalikan, yang berdampak pada masyarakat yang seharusnya mendapatkan gas subsidi dengan harga yang lebih ekonomis.
Kementerian ESDM juga mengimbau kepada masyarakat untuk memprioritaskan pembelian LPG 3 kg dari pangkalan resmi. Dengan langkah ini, masyarakat tidak hanya mendapatkan harga yang lebih sesuai, tetapi juga memastikan bahwa gas yang dibeli aman dan tidak ada unsur penyalahgunaan dalam prosesnya.
“Kami terus dorong agar distribusi LPG 3 kg semakin ketat dan tepat sasaran. Masyarakat harus mulai beralih membeli dari pangkalan resmi,” imbuh Achmad. Ke depan, kementerian mungkin akan menerapkan kebijakan yang lebih ketat untuk membatasi peran pengecer, dengan tujuan agar subsidi gas benar-benar sampai kepada masyarakat yang berhak.
Terlepas dari praktik pengecer yang membahayakan ini, masyarakat diharapkan untuk lebih peduli dalam memilih sumber LPG yang tepat agar tidak terjerat dalam praktik-praktik ilegal yang merugikan. Mengunjungi pangkalan resmi adalah langkah yang tepat demi memastikan bahwa gas subsidi dapat dinikmati oleh mereka yang berhak dan tepat sasaran.