Salah satu kelebihan Donny Hardono ialah kejeliannya melihat peluang. Ketika banyak penyanyi bermunculan dan tidak memiliki band pengiring pada 1989, ia mendirikan Audiensi Band untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Kini, Audiensi Band adalah salah satu band pengiring dengan jejak paling panjang. Yang istimewa ialah menjadi band tetap di Istana Negara pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Audiensi Band juga mendapat rekor dunia dari Record Holders Republic saat mengiringi 100 biduan dengan 100 hits dalam sehari ketika konser menggalang dana untuk korban gempa Palu, Sigi, dan Donggala , Jakarta, Jumat (5/10/2018).
Akhir tahun lalu, Arsjad Rasjid sempat dirawat di rumah sakit karena covid-19. Usai sembuh, dokter yang merawatnya merekomendasikan untuk kateter guna mengecek kondisi aliran darahnya. Tidak ia duga, sudah ada tiga titik penyumbatan di jantungnya.
"Teman saya banyak yang usai negatif covid, lalu serangan jantung, dan meninggal. Bagi saya, dengan mengetahui blockage early dan bisa sembuh, ini semacam Tuhan memberikan second chance. Andai saja itu tidak ketahuan dan saya terkena serangan jantung, saya mungkin tidak di sini. Inilah salah satu proses di kehidupan saya," ujar Arsjad yang segera menempuh tindakan pemasangan ring pascadiagnosis dokter itu.
Kesempatan kedua untuk hidup tidak ingin dijalani Arsjad tanpa makna. Momentum tersebut membuat dirinya semakin terpanggil untuk memberi sumbangsih bagi negeri. Ia pun memutuskan untuk maju dalam pemilihan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia periode 2021-2026.
"I need to do something. It's a call. Saya ingin melayani sesuatu yang bisa berkontribusi untuk bangsa ini," jelasnya.
Ia mengibaratkan Kadin seperti sebuah perusahaan publik dengan pemegang sahamnya adalah kadin di daerah dan asosiasi-asosiasi usaha. "Pertama, yang ingin saya bawa, mind change, bahwa ini seperti perusahaan bersama. Dengan mindset itu, maka akan berusaha memberi values kepada 'pemegang saham', juga kepada stakeholders atau pemerintah," jelasnya.
Ia pun ingin mewujudkan Kadin yang lebih inklusif, yang jadi rumah bagi semua pengusaha di Tanah Air, apapun skalanya. "Baik itu pengusaha besar, menengah, kecil, dan mikro, itu semua mesti dihormati."
Dalam seleksi posisi Ketua Kadin kelak, Arsjad akan berhadapan dengan koleganya, Anindya Bakrie. Meski begitu, ia mengaku tidak ingin ada perpecahan di antara mereka. Karena itu, jauh hari ia sudah menghubungi Anindya.
Di Grup Indika, ia memimpin Yayasan Indika untuk Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan Indika Foundation. Yayasan ini bertujuan memberi kontribusi lebih untuk membangun karakter bangsa dan menyebarkan semangat toleransi.Menurutnya, pascareformasi 1998, bangsa Indonesia terlalu euforia sehingga ada karakter bangsa yang terabaikan, salah satunya budi pekerti.
Latar belakang keluarganya yang majemuk, juga pernah tinggal di berbagai negara, turut membuat dirinya lebih peduli akan keberagaman.Melalui toleransi.id yang turut didukung Indika Foundation, ia berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa keberagaman dan perbedaan merupakan kekuatan bangsa Indonesia, melalui Bhineka Tunggal Ika.
Di masa pandemi covid-19, jiwa sosialnya tidak mengendur. Meskipun, tentunya usahanya turut terdampak krisis global. "Gaji (karyawan) tetap dan tidak dipotong itu salah satu bagian dari kontribusi," ujar Arsjad.
Selain itu, ia berkolaborasi dengan beberapa yayasan perusahaan lain untuk mendirikan Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) Lab, sebuah perusahaan dengan misi sosial untuk membantu pemerintah dalam menanggulangi penyebaran covid-19.
Menurutnya, GSI Lab merupakan wirausaha sosial pertama di Indonesia. "Kalau bicara pancasila, kita belah juga ekonominya bagaimana? Bukan sosialis dan kapitalis, ekonomi pancasila ada di tengah. It's not finance first, it's not social first, it's in the middle. Bahasa kerennya saat ini, social enterprise, kewirausahaan sosial."
Baru-baru ini, melalui Indika Foundation yang bekerja sama dengan ormas Pemuda Pancasila, ia turut juga menggawangi Gerakan Nasional Mengisi Masjid dengan 1.000.000 Sajadah Pelindung Covid-19.
"Kondisi saat ini extraordinary, kita sedang perang kesehatan dan ekonomi. Seperti kemerdekaan 1945, yang bisa memenangkan kita adalah persatuan dan kesatuan. Jangan lihat luarnya, lihat hatinya. Yuk, kita bisa bersama-bersama."
Pria kelahiran 16 Maret 1970 itu mengawali kariernya dengan Indika ketika ia berkolaborasi bersama sahabatnya, Agus Lasmono Sudwikatmono. Pada 1996, keduanya mendirikan perusahaan industri media dan informatika. Indika menjadi benderanya.
Tahun 2000, Arsjad turut membidani lahirnya Indika Energy. Awalnya, perusahaan itu mengincar proyek pembangunan pembangkit listrik. Namun, pascakrisis moneter 1998, sukar mendapatkan investor asing yang menaruh kepercayaan kepada Indonesia. Arsjad pun kembali bergerilya. Kali ini, untuk menggaet perusahaan-perusahaan batu bara di Indonesia. Pada 2004, dengan tangan dinginnya Indika berhasil mengakuisisi PT Kideco Jaya Agung, dengan nilai US$ 150 juta. selengkapnya yuk dengerin...
Menumbuhkan Kesadaran Pakelepas malang-melintang berkarier di dunia perbankan, Sigit Pramono lebih aktif berkegiatan sosial. Berbagai organisasi nirlaba pernah dipimpinnya, seperti Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD) maupun Indonesian Institute for Public Governance (IICG) yang membantu internalisasi good corporate governance and directorship di lingkup korporasi maupun lembaga pemerintahan. Teranyar, pada 27 Juni 2020, Sigit menginisiasi Gerakan Pakai Masker (GPM), sebuah lembaga nirlaba di luar pemerintahan, dan tak berafiliasi kepentingan politik apa pun, untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai urgensi bermasker di masa pandemi covid-19.
"Vaksinasi butuh waktu sekitar 18 bulan, atau menurut saya sekitar 2 tahun. Kita tetap mesti pakai masker. Kami tidak digaji dan dibayar, ini kontribusi untuk masyarakat dan bangsa. Saya mengajak teman-teman, jangan hanya mengkritik, tapi bisa juga memberi solusi tanpa harus masuk ke pemerintahan. Masalah ini tidak bisa diserahkan hanya ke pemerintah atau satgas saja," tuturnya.
Dalam GPM, Sigit memang tidak sendiri. Banyak tokoh independen yang mendukungnya, seperti KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Butet Kartaredjasa, Ustaz Yusuf Mansur, Romo Mudji Sutrisno, Andy F Noya, maupun Yenny Wahid. Hingga kini, GPM juga telah melakukan penyuluhan sedikitnya di 9.200 pasar tradisional seluruh Indonesia. Ia pun menganalogikan, menghadapi pandemi covid-19 seperti berlari marathon, bukanlah sprint. Artinya, stamina kita mesti kuat dan berkelanjutan. ai Masker
Buku Machu Picchu karya fotografer Barry Brukoff yang berkolaborasi dengan penyair ternama Cile, Pablo Neruda, mengilhami dia untuk membuat buku dengan konsep serupa: menampilkan lanskap Bromo dengan puisi sebagai pendampingnya. Ia pun mengajak sastrawan Goenawan Mohamad (GM)--yang juga masih saudaranya-- untuk 'berduet' dengannya. Berdua, mereka menyusuri bentang Bromo. Sigit memotret, GM menulis puisi.
"Bromo itu salah satu tempat terindah di dunia untuk lanskap fotografi. Saya setahun bisa 24 kali ke Bromo, jadi punya probilitas lebih tinggi untuk mendapatkan foto bagus," jelas pria yang juga Dewan Pembina Masyarakat Fotografi Indonesia tersebut. Sebagai seorang fotografer, Sigit telah melahirkan tujuh buku foto. Tiga di antaranya berkenaan dengan Bromo.
Tak hanya gunung-gemunung, salah satu karya bukunya, Belanga, merekam keindahan laut. Ia memotret dengan kamera linhof technorama 617 S III dan menghasilkan buku foto yang unik, memanjang dengan berisi foto-foto berdimensi panorama. "Seperti pepatah, asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga. Buku Belanga ini adalah perpaduan lanskap gunung dan laut," jelasnya.
Di masa pandemi covid-19 pun Jazz Gunung Bromo tetap berlangsung walau secara hybrid. "Yang hadir langsung, protokol kesehatan sangat ketat. Tidak hanya 3M, kita terapkan 3W, yakni wajib tes antigen, wajib masker, dan wajib jaga jarak," kata Sigit yang juga penggagas Gerakan Pakai Masker (GPM). Berkat Jazz Gunung Bromo, pamor Gunung Bromo makin meningkat. Perekonomian lokal pun makin terangkat. "Ini jadi kebanggaan kita, mengemas wisata dengan cara yang berbeda. Orang mesti ditahan lebih lama di tempat wisata, supaya belanja lebih banyak," jelas Sigit. Tiap tahun, ketika gelaran Jazz Gunung berlangsung, masyarakat setempat memang merasakan betul manfaat yang luar biasa. Mulai dari pengusaha penginapan dan hotel, restoran, pemilik jip dan kuda, hingga penjaja souvenir kelimpahan berkah. "Kalau yang nonton jazz gunung itu sekitar 2.000 orang, berarti setidaknya dibutuhkan 1.000 kamar. Sedangkan, hotel-hotel di sekitar Bromo jumlahnya hanya 300-an saja. Jadi, rumah-rumah penduduk yang disewakan turut penuh, hotel-hotel di Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, hingga di Malang turut dihinggapi para tamu," jelas Sigit.
Karena begitu besar jasanya tersebut, ia menjadi tokoh sepuh yang dihormati di kalangan Suku Tengger. "Bagi saya ini tantangan untuk terus membantu masyarakat di sana, memajukan wisata Bromo," ujarnya merendah. Selain Bromo, ia pun menyiapkan konsep serupa untuk memajukan wisata lain di Indonesia, khususnya wilayah pegunungan. Konsep apakah itu?
Fadli Zon merupakan salah satu legislator yang konsisten mengkritik pemerintah. Baik ketika partainya, Gerindra, sebagai oposisi pada periode 2014-2019, hingga kini berada di barisan koalisi dengan 2 menterinya berada di kabinet Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Menurutnya, koalisi itu hanya di ranah eksekutif. Dirinya yang duduk di kursi legislatif mesti tetap kritis menjalankan fungsi check and balances.
"Nyindir-nyindir nyelekit saya rasa biasa. Negara kita jika dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Inggris, kategori kritik saya masih sangat-sangat terlalu sopan," ujarnya.
Fadli, meski turut menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputra Nararya dari Presiden Joko Widodo pada tahun lalu sekalipun, tak menyurutkan 'semangatnya' untuk mengkritik pemerintahan.
"Mungkin Pak Jokowi sudah alergi lihat saya. Tapi, apa yang saya lakukan tidak ada rasa benci, semata-mata untuk kepentingan rakyat dan nasional," jelasnya.
Pada 2007, ia berhasil mewujudkan mimpinya tersebut. Fadli Zon Library yang berlokasi di Bendungan Hilir berdiri. Tempat yang ia bangun terinspirasi dari perpustakaan milik Taufik Ismail, di Utan Kayu, Jakarta Timur.
Sedikitnya ada sekitar 35 ribu buku memenuhi sudut-sudut Fadli Zon Library. Buku-buku yang tidak sekadar mengisi perpustakaan, tetapi melalui kurasi tangannya langsung.
Fadli Zon Library pun menyimpan koleksi-koleksi lain miliknya. Mulai dari naskah kuno yang ditulis tokoh bangsa seperti Bung Karno dan Bung Hatta, koran tempo dulu, perangko, keris, tombak, pedang, koin logam dari berbagai zaman kerajaan nusantara, patung dan lukisan, piringan hitam, tekstil, bungkus rokok, hingga aksesoris yang pernah dipakai oleh beberapa tokoh seperti kopiah, tongkat, hingga mesin tik. Berkat berbagai koleksinya tersebut, sejumlah rekor MURI pun berhasil ia sabet.
"Kita sebagai bangsa belum melihat museum, library, dan gallery sebagai aset. Yang dilihat batubara dan timah. Culture heritage belum jadi prioritas. Bahkan, mentality orang saat ini jika ditugaskan di museum berarti kariernya sedang dibuang," jelas pria yang juga telah menulis puluhan judul buku itu.
Masyarakat awam di Indonesia mungkin lebih mengenal Fadli Zon lewat kiprah dan kicaunya di ranah politik. Namun, barangkali hanya sedikit yang mengetahui renjana sejatinya.
Berayah seorang guru seni dan olahraga yang aktif membina randai (teater) di Sumatra Barat, sejak kecil, Fadli telah memiliki ketertarikan kepada dunia sang ayah. Memasuki masa praremaja, ia sudah giat menulis puisi, yang kelak dihimpunnya dalam buku Mimpi-Mimpi yang Kupelihara.
Bukan hanya seni puisi dan deklamasi, Fadli juga menggandrungi seni pertunjukan, khususnya teater. Nyaris seluruh pertunjukan Bengkel Teater Rendra sudah ia saksikan.
Saat kuliah, ia kemudian memilih jurusan Sastra Rusia di Universitas Indonesia (UI). Pilihan tersebut lantaran Fadli beranggapan puncak karya sastra dunia lahir dari para sastrawan Rusia. selengkapnya dengerin yaa
Bagi Adek Berry, dedikasi pada profesi tidak mengurangi tanggung jawab pada suami dan dua anaknya yang beranjak remaja.
Meski demikian, kerap terjadi ketika dia sedang liburan bersama keluarga, tiba-tiba harus meninggalkan mereka karena ada penugasan mendadak dari tempatnya bekerja.
Ia bersyukur seluruh anggota keluarga memahami profesinya sebagai jurnalis foto yang setiap saat harus siap menerima penugasan liputan.
Selain berkisah tentang profesi dan keluarga, Adek Berry juga berbagi pengalaman meliput pandemi covid-19 mulai dari kasus pertama di Indonesia diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (2/3/2020) hingga saat ini.