Menyoal Kewenangan Kejaksaan: Jaga Prinsip Diferensiasi Fungsional

Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan menjadi perbincangan hangat dalam dunia hukum di Indonesia. Menyoroti peran Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana, banyak pihak menilai bahwa kewenangan yang diberikan kepada Korps Adhyaksa ini bisa dikategorikan sebagai berlebihan. Menurut pakar hukum Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, dalam sistem peradilan yang terintegrasi, setiap penegak hukum memiliki peran dan kewenangan masing-masing.

Di antara berbagai penegak hukum, polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan, jaksa memiliki kewenangan melakukan penuntutan, dan hakim berfungsi untuk mengadili. Adanya variasi peran ini diharapkan dapat mengurangi risiko tumpang tindih kewenangan antara lembaga penegak hukum serta menjaga keteraturan dan keadilan dalam proses hukum.

Salah satu aspek penting yang ditekankan oleh Prof. Eddy adalah perlunya menjaga prinsip diferensial fungsional dalam kebijakan hukum, termasuk di Kejaksaan. Meski Kejaksaan memainkan peran sebagai pengendali perkara, tetap penting untuk memastikan bahwa mereka tidak mengambil alih kewenangan penyidikan yang merupakan tanggung jawab polisi. Eddy menekankan pentingnya koordinasi antara penegak hukum, namun ia menegaskan bahwa koordinasi tersebut harus bersifat horizontal, bukan vertikal.

Pengawasan penyidikan yang dilakukan kejaksaan juga mengandalkan beberapa instrumen penting. Di antaranya adalah:

1. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
2. P-16 (surat perintah penyidikan)
3. P-19 (surat perintah penghentian penyidikan)

Ketiga instrumen tersebut berfungsi untuk memastikan bahwa setiap proses penyidikan oleh kepolisian berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Namun, jika kewenangan ini diperluas tanpa adanya batasan yang jelas, dikhawatirkan akan muncul risiko penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang merugikan proses keadilan.

Pakar hukum ini menjelaskan bahwa perlu adanya pengaturan yang ketat untuk menghindari dampak negatif dari revisi UU tersebut. Menurutnya, undang-undang harus merujuk pada prinsip “due process of law,” yang merupakan nilai inti dalam sistem peradilan pidana yang dihargai oleh negara-negara beradab di dunia. Proses hukum yang adil dan transparan seharusnya menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan hukum yang dianut.

Sorotan kritis juga datang dari berbagai kalangan yang mempertanyakan perubahan yang terkandung dalam revisi UU ini. Banyak yang khawatir bahwa dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada Kejaksaan, terdapat potensi pelanggaran batas kewenangan yang wajar. Hal ini bisa menimbulkan konflik dengan ketentuan konstitusi serta undang-undang yang ada, dan berpotensi merusak sistem hukum yang telah dibangun selama ini.

Salah satu hal yang juga menjadi sorotan dalam revisi ini adalah pemberian kewenangan intelijen kepada kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, yang bisa dianggap menambah kompleksitas dalam pengaturan penegakan hukum. Penambahan kewenangan seperti ini, tanpa regulasi yang jelas, bisa memicu kekhawatiran akan munculnya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.

Dengan latar belakang tersebut, pembahasan mengenai kewenangan Kejaksaan dalam RUU yang sedang direvisi menjadi sangat penting. Masyarakat perlu mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai batas-batas kewenangan setiap penegak hukum, agar sistem peradilan pidana dapat berjalan dengan adil dan efektif, tanpa adanya tumpang tindih yang dapat merugikan para pencari keadilan. Diskusi tentang RUU ini diharapkan bukan hanya melibatkan kalangan akademisi dan penegak hukum, tetapi juga masyarakat luas, agar aspirasi dan kekhawatiran publik dapat terakomodasi dalam proses legislasi yang sedang berlangsung.

Exit mobile version