Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru-baru ini mengungkapkan fakta yang mengejutkan mengenai industri minyak Indonesia. Meski dikenal sebagai negara kaya sumber minyak, Indonesia justru mengimpor 54 persen minyak dari Singapura, sebuah negara yang tidak memiliki sumber daya minyak. Hal ini menjadi perhatian serius karena menunjukkan adanya masalah dalam pengelolaan sektor energi nasional.
Dalam acara Berita Satu Outlook 2025 di Jakarta pada 30 Januari, Bahlil mengemukakan bahwa negara ini kini membeli minyak sebanyak satu juta barel per hari dari Singapura. "Saya ini tidak pernah punya bisnis di minyak atau punya pengalaman di minyak, tapi penciuman saya ini ada yang tidak beres. Tata kelola mungkin yang kita harus clear (rapikan)," ungkapnya. Kondisi ini jauh berbeda dengan tahun 1997, di mana Indonesia bisa memproduksi sekitar 1,6 juta barel minyak per hari dan mengekspor satu juta barel ke berbagai negara.
Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1997, produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan yang signifikan. Dulu, Indonesia dikenal sebagai negara eksportir minyak, namun seiring waktu, kebutuhan dalam negeri justru mendorong pemerintah untuk memilih jalur impor. Bahlil mengkritik pola kerjasama dan tata kelola yang sedang berlangsung, dan menekankan pentingnya melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan lifting minyak dalam negeri.
Menghadapi situasi ini, pemerintah telah merencanakan langkah-langkah mitigasi. Bahlil menjelaskan bahwa salah satu langkah yang akan diambil adalah mengaktifkan 6.000 sumur minyak yang sudah dianggap tidak aktif, atau yang biasa disebut sebagai sumur idle. Dengan memanfaatkan teknologi chemical enhanced oil recovery (EOR), diharapkan produksi minyak dapat meningkat hingga 180.000 barel per hari. Metode EOR melibatkan penggunaan bahan kimia untuk meningkatkan hasil ekstraksi minyak dari sumur.
Berikut adalah beberapa langkah yang direncanakan untuk meningkatkan produksi minyak di Indonesia:
- Aktivasi Sumur Idle: Menghidupkan kembali sumur-sumur yang tidak berfungsi guna meningkatkan hasil produksi.
- Penggunaan Teknologi Modern: Mengadopsi teknologi pengeboran minyak yang lebih canggih, seperti yang dilakukan di Amerika Serikat.
- Pengoptimalan Sumur: Menggunakan metode EOR untuk memaksimalkan hasil dari sumur yang ada.
Bahlil juga menjelaskan bahwa teknologi pengeboran yang digunakan di Indonesia saat ini masih berbasis vertikal, berbeda dengan metode horizontal yang diterapkan di Amerika Serikat untuk meningkatkan kapasitas produksi. "Kalau di Amerika dari 3 juta barel menjadi 13 juta barel per hari karena mereka mengebor secara horizontal supaya bagian minyak yang tidak pernah diangkut naik itu bisa terangkat," tambah Bahlil.
Ancaman meningkatnya ketergantungan terhadap impor minyak juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan para pengamat ekonomi. Kebijakan dan langkah yang diambil saat ini bisa menjadi penentu masa depan industri minyak Indonesia. Dengan begitu, penting bagi pemerintah untuk merumuskan strategi jangka panjang yang tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi, tetapi juga pada pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.
Sementara itu, pengelolaan tata kelola energi yang lebih transparan dan akuntabel diharapkan dapat memulihkan kepercayaan publik dan investor dalam sektor energi Indonesia. Situasi ini bukan hanya persoalan teknis dalam produksi, tetapi juga tantangan besar yang memerlukan kolaborasi antara pemerintah, perusahaan minyak, dan masyarakat untuk menciptakan sistem yang lebih efisien dan efektif.
Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan kembali menjadi negara yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan energinya sendiri. Oleh karena itu, langkah-langkah yang diambil Menteri Bahlil dan pemerintah ke depan menjadi sangat krusial untuk mengembalikan Indonesia dalam posisi sebagai produsen minyak yang berdaya saing dan berkelanjutan.