Nenek 63 Tahun Wafat dalam Tragedi Gas Melon Saat Berjuang Dapatkan LPG

Seorang nenek berusia 63 tahun bernama Yonih telah kehilangan nyawanya setelah berjuang mengantre untuk mendapatkan gas elpiji 3 kilogram, yang beberapa waktu terakhir semakin sulit ditemukan di pasaran. Kejadian tragis ini terjadi di Pamulang Barat, Tangerang Selatan, dan menghighlight betapa sulitnya kehidupan sehari-hari di tengah kelangkaan bahan bakar subsidi ini.

Ketua RT 01/07 Pamulang Barat, Saiful, menjelaskan bahwa Yonih pingsan saat membawa dua tabung gas di tangannya. “Almarhumah sebelum meninggal habis antre pulang bawa dua tabung gas. Mungkin lemas atau gimana terus dia duduk, ada beberapa warga melihat untuk membantu,” ungkap Saiful. Ucapan ini menegaskan betapa seriusnya situasi kelangkaan gas yang memaksa orang-orang, termasuk lansia, untuk berjuang dalam antrean yang panjang.

Setelah pingsan, Yonih dilarikan ke Rumah Sakit Permata untuk mendapatkan perawatan, namun sayangnya nyawanya tidak dapat diselamatkan. “Setelah keluarga datang dia langsung dibawa ke rumah untuk membantu. Dia dibawa ke rumah sakit, gak lama kemudian warga saya cerita Ibu Yonih sudah meninggal,” tambah Saiful, menggambarkan kesedihan yang melanda komunitas di sekitarnya.

Rohaya, seorang warga yang mengenal dekat almarhumah, menggambarkan sosok Yonih sebagai orang yang sangat aktif dan rajin. Dalam kesehariannya, wanita tersebut membantu membentuk lontong, sebuah makanan khas Indonesia, karena Yonih sendiri menjalankan usaha dagang nasi uduk dan lontong sayur. “Setiap malam bantuin bikin lontong, orangnya rajin,” kenangnya. Tak hanya itu, Yonih juga memiliki cita-cita untuk melaksanakan umroh, yang hingga saat ini belum tercapai. “Dia kan bilang kepingin umroh lagi ngumpulin uang,” ungkap Rohaya.

Kasus ini mencerminkan masalah yang lebih luas terkait distribusi dan akses terhadap gas bersubsidi. Banyak masyarakat, terutama yang berpendapatan rendah, sangat bergantung pada gas elpiji 3 kg untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, kelangkaan yang terus terjadi membuat mereka terpaksa berebut, dengan dampak yang bisa berakibat fatal seperti apa yang terjadi pada Yonih.

Hal ini juga mengundang kritik terhadap kebijakan pemerintah mengenai distribusi gas bersubsidi. Banyak warga yang mengekspresikan frustrasi mereka karena harus berkeliling mencari gas, hanya untuk kemudian dipersyaratkan untuk membawa KTP sebagai syarat pembelian. “Pagi ketemu saya didepan saya tanya mau kemana, dia bilang mau ngantri gas bawa tabung gas dua masih kosong tapi disuruh pulang lagi suruh pake KTP,” pungkas Rohaya, mengisahkan pengalaman terakhir mereka.

Dalam situasi krisis seperti ini, masyarakat sangat membutuhkan solusi yang cepat dan efektif dari pemerintah. Kelangkaan gas bersubsidi bukan hanya sekedar masalah logistik, tetapi juga menyangkut hidup dan mata pencaharian banyak orang. Pemerintah harus segera memperhatikan masalah ini untuk mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan.

Kejadian duka ini tidak hanya menjadi kehilangan bagi keluarga Yonih, tetapi juga menjadi tamparan keras bagi masyarakat yang saat ini tengah berjuang di tengah kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Tanpa adanya langkah nyata untuk mengatasi masalah kelangkaan gas, lebih banyak lagi nyawa yang berpotensi hilang sia-sia di tengah antrean panjang untuk mendapatkan sesuatu yang seharusnya dapat diakses oleh semua.

Exit mobile version