Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melakukan pertemuan penting dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa, yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara kedua negara sekaligus membahas isu-isu sensitif, termasuk gencatan senjata di Gaza dan strategi menghadapi Iran. Pertemuan ini berlangsung di Gedung Putih, di tengah situasi yang tegang akibat negosiasi tidak langsung antara Israel dan Hamas mengenai tahap kedua kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera.
Dalam konferensi pers yang dijadwalkan setelah diskusi, baik Netanyahu dan Trump berusaha menunjukkan komitmen mereka terhadap kerja sama bilateral. Trump, yang baru kembali menjabat pada 20 Januari lalu, tetap menunjukkan dukungan solid terhadap Israel. Namun, ketegangan mungkin akan muncul terkait rencana strategis jangka panjang, terutama dalam konteks hubungan diplomatik Israel dengan negara-negara Arab.
Netanyahu menghadapi tantangan serius dalam upaya normalisasi hubungan ini, terutama dengan pengaruh kuat dari koalisi sayap kanan dalam pemerintahannya.Ia terancam dijatuhkan apabila tidak mengambil tindakan tegas terhadap Hamas, yang semakin diperkuat pasca perang di Gaza. Pandangan Netanyahu yang menolak pembentukan negara Palestina mendapat dukungan luas dari masyarakat Israel, hal ini semakin memperumit ambisi Trump dalam merangkul negara-negara Arab, khususnya Arab Saudi.
Selain isu gencatan senjata, pertemuan ini juga memfokuskan perhatian pada ancaman yang ditimbulkan oleh Iran. Sejak menarik diri dari kesepakatan nuklir internasional pada 2018, Trump dan Netanyahu telah bersepakat untuk mencegah Iran dari pengembangan senjata nuklir. Ketegangan meningkat saat Iran meluncurkan ratusan rudal dan drone ke arah Israel pada tahun lalu, yang kemudian direspons dengan serangan udara oleh Israel. Pengamat politik menilai bahwa Trump kemungkinan akan memberikan kebebasan lebih kepada Netanyahu dalam menanggapi provokasi dari Iran.
Kebijakan luar negeri Trump yang lebih mendukung Israel tercermin dari tindakan awalnya, seperti pengiriman bom seberat 2.000 pon ke Israel, yang sebelumnya terhalang oleh pemerintahan Joe Biden. Namun, kebijakan ini berpotensi menghadapi penolakan dari komunitas internasional, terutama di tengah isolasi diplomatik yang dialami oleh Netanyahu akibat perang yang berkepanjangan di Gaza. Bahkan, Netanyahu saat ini berhadapan dengan surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan perang.
Di tengah situasi ini, kelompok pro-Palestina dan aktivis yang mendukung pembebasan sandera Hamas merencanakan aksi protes selama kunjungan Netanyahu ke Washington. Protes ini mencerminkan keprihatinan mereka terhadap dampak perang yang terus berlanjut di Gaza.
Netanyahu mengungkapkan harapan bahwa pertemuannya dengan Trump dapat membentuk ulang peta geopolitik di Timur Tengah, dengan menyesuaikan diri terhadap perubahan dinamika yang berlangsung. Dia menekankan pentingnya kerjasama dengan AS dalam menangani tantangan yang ada, baik di level regional maupun global.
Kedua pemimpin diyakini akan berusaha mencari jalan tengah yang dapat memfasilitasi pembicaraan lebih lanjut mengenai perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut, walaupun ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Dengan situasi yang terus berkembang, pertemuan ini bisa menjadi titik awal untuk upaya diplomatik yang lebih besar di masa mendatang.