Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengungkap modus penipuan digital yang telah merugikan masyarakat hingga Rp 700 miliar dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Jumlah tersebut berasal dari lebih dari 42 ribu pengaduan yang diterima lewat Indonesia Anti Scam Center (IASC). Dalam konferensi pers yang berlangsung di Jakarta pada Selasa (11/2), Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan OJK, Friderica Widyasari Dewi, menekankan bahwa cepatnya korban dalam melaporkan penipuan berdampak besar pada upaya penyelamatan dana.
Dari total kerugian yang dilaporkan, OJK berhasil memblokir sekitar Rp 100 miliar. Friderica menambahkan bahwa kecepatan respons korban dalam melaporkan kejadian penipuan sangat menentukan seberapa banyak dana yang bisa diselamatkan. Hal ini menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat untuk segera melaporkan aktivitas mencurigakan.
OJK telah mengidentifikasi beberapa modus penipuan digital yang menjadi sorotan. Berikut adalah modus-modus yang sering terjadi:
- Penipuan Belanja Online: Korban mentransfer uang namun barang yang dipesan tidak pernah dikirim.
- Investasi Bodong: Penawaran investasi dengan imbal hasil tinggi yang nyatanya fiktif.
- Penipuan Hadiah Palsu: Pelaku mengklaim berasal dari institusi resmi dan meminta korban membayar pajak atau biaya administrasi.
- Fake Call & Social Media Scam: Penipu menghubungi korban lewat telepon atau media sosial untuk mencuri data pribadi.
- Penipuan Lowongan Kerja: Modus ini menawarkan pekerjaan kepada korban yang harus membayar biaya administrasi terlebih dahulu.
- Social Engineering (Soceng): Teknik manipulasi psikologis untuk mendapatkan informasi sensitif dari korban.
- Pinjol Ilegal: Penawaran pinjaman online yang mencurigakan dan menjerat korban dengan bunga tinggi.
- Malware via File APK: Peretas mengirim aplikasi berbahaya yang dapat mencuri data perbankan korban.
- Romance Scam (Love Scam): Penipuan berbasis asmara yang sering menggunakan identitas palsu atau teknologi deepfake.
Teknologi kecerdasan buatan (AI) juga menjadi perhatian OJK. Friderica mengungkapkan bahwa pelaku kejahatan kini memanfaatkan AI untuk menciptakan identitas palsu, termasuk deepfake. “Ada kasus di mana korban percaya sedang berbicara dengan anggota keluarga mereka lewat panggilan video, padahal itu adalah rekayasa digital berbasis deepfake AI,” tambahnya.
OJK bersama dengan lembaga keuangan lainnya sedang berupaya memperketat regulasi untuk mencegah penyalahgunaan teknologi dalam penipuan digital. Ke depan, penegakan hukum yang lebih agresif diharapkan mampu mengurangi angka penipuan digital yang semakin marak.
Upaya edukasi kepada masyarakat juga sangat penting, agar mereka lebih waspada terhadap modus-modus penipuan yang ada. Dalam kesempatan yang sama, Friderica mendesak masyarakat untuk lebih proaktif dan mengedukasi diri mengenai praktik-praktik penipuan yang sering terjadi di dunia digital. Apalagi dengan semakin tingginya ketergantungan masyarakat pada teknologi, risiko penipuan pun semakin meningkat.
OJK berharap, dengan adanya peningkatan kesadaran dan kewaspadaan di kalangan masyarakat, kerugian akibat penipuan digital dapat ditekan. Instansi ini berkomitmen untuk terus memberikan informasi dan edukasi terkait keamanan dalam bertransaksi di dunia maya, menjaga agar masyarakat terhindar dari praktik penipuan yang merugikan.