Ombudsman RI: Aturan 30% Plasma Perusahaan Sawit Langgar Aturan?

Ombudsman Republik Indonesia (RI) memberikan tanggapan terkait rencana Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang mewajibkan aturan baru mengenai plasma sebesar 30% bagi perusahaan yang mengajukan pembaruan Hak Guna Usaha (HGU). Rencana ini dianggap bertentangan dengan peraturan yang sudah ada, di mana saat ini kewajiban plasma yang berlaku adalah 20%.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengemukakan bahwa kementerian ATR/BPN seharusnya mematuhi peraturan yang berlaku. Dalam keterangannya, Yeka menegaskan, “Harus patuh sama aturan. Aturannya 20 persen ya 20 persen dong atau ubah dulu aturannya. Jika ada keinginan untuk mengubah, ya mestinya undang-undangnya yang diperbaiki terlebih dahulu.”

Aturan mengenai plasma 20 persen bagi pemegang HGU diatur dalam beberapa regulasi, seperti UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada Pasal 58, yang menyatakan bahwa perusahaan perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% dari total luas lahan. Selain itu, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 26 Tahun 2007, No. 98 Tahun 2013, dan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juga menegaskan kewajiban tersebut.

Yeka menyatakan bahwa meskipun niatan Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, untuk meningkatkan kesejahteraan petani sawit melalui kebijakan baru ini didasari oleh keinginan baik, pelaksanaannya tetap harus merujuk pada aturan yang ada. Jika kebijakan ini dipaksakan tanpa mengubah regulasi yang ada, hal itu dapat menimbulkan maladministrasi. “Maladministrasi itu berarti,” tambahnya, yang menunjukkan bahwa potensi pelanggaran terhadap ketentuan hukum bisa menyebabkan ketidakpastian bagi pelaku usaha.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa sebelum menerapkan aturan 30% plasma, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi mendalam terhadap pelaksanaan kewajiban plasma 20% yang sudah ada. “Yang (kewajiban plasma) 20 persen sudah dievaluasi belum? Jangan-jangan yang 20 persen belum dievaluasi. Jika 30 persen justru diterapkan, nanti akan muncul masalah,” ujarnya.

Adanya ketidakpastian hukum akibat perubahan kebijakan yang mendadak dapat berdampak buruk terhadap iklim investasi di sektor industri sawit. Yeka mengingatkan bahwa pelaku usaha butuh kejelasan agar dapat beroperasi dengan baik. “Ada ketidakpastian hukum yang justru menjadi beban bagi para pelaku usaha. Kita ingin tumbuh, namun jika diperlakukan seperti ini, mereka akan stres,” ungkapnya.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI pada 30 Januari 2025, Menteri Nusron menjelaskan bahwa aturan plasma 20 persen hanya berlaku pada pemberian HGU tahap pertama selama 35 tahun dan perpanjangan tahap kedua selama 25 tahun. Dia mengusulkan untuk menambah kewajiban plasma menjadi 30 persen saat perusahaan mengajukan pembaruan HGU ketiga, yang berarti setelah total 95 tahun, perusahaan harus menambah 10 persen dari kewajiban plasma sebelumnya.

Nusron menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa petani lebih mendapatkan manfaat dari industri sawit. Saat ini, terdapat sekitar 16 juta hektar HGU yang dikuasai oleh sekelompok pengusaha kelapa sawit yang memiliki izin usaha perkebunan (IUP).

Sebelum aturan baru ini diberlakukan, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak dan memastikan bahwa regulasi yang ada diikuti secara ketat. Ketidakpastian yang disebabkan oleh perubahan kebijakan yang mendasar dapat memengaruhi para pelaku usaha di sektor yang sangat krusial bagi perekonomian Indonesia ini.

Exit mobile version