Psikolog berpengaruh Daniel Kahneman, penerima Nobel Ekonomi, mengejutkan dunia akademis dan publik ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bantuan medis di Swiss. Dalam langkah yang terbilang kontroversial ini, Kahneman, yang meninggal pada usia 90 tahun, memberi tahu hanya teman-teman dekat dan keluarganya tentang keputusannya melalui surat sebelum berangkat ke Eropa. Keputusan ini mencerminkan pandangan hidup dan penelitiannya yang mendalam tentang kehidupan dan pengalaman manusia, terutama di masa senja.
Kahneman dikenal luas atas karyanya dalam bidang psikologi dan ekonomi perilaku. Dia menjadi terkenal melalui penelitiannya tentang keputusan yang dihadapi orang dalam situasi ketidakpastian, yang membawanya meraih Hadiah Nobel pada tahun 2002. Sepanjang hidupnya, Kahneman menekankan pentingnya memahami bagaimana pola pikir manusia dapat memengaruhi keputusan ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Namun, di balik prestasi tersebut, Kahneman juga merasa bahwa bertahan hidup di usia senja dapat membawa banyak penderitaan yang tidak perlu.
Dalam surat perpisahan yang dia kirimkan kepada sahabat karibnya, Kahneman mengekspresikan keyakinannya bahwa penderitaan di tahun-tahun terakhir hidup harus dihindari. Dia percaya bahwa menghentikan hidup di puncak kemampuannya adalah pilihan yang lebih baik dibandingkan membiarkan kesehatannya memburuk secara bertahap. “Saya percaya sejak remaja bahwa kesengsaraan dan penghinaan di tahun-tahun terakhir hidup adalah hal yang berlebihan,” tulisnya dalam email kepada teman-temannya. Dia berargumen bahwa meskipun ia masih menikmati banyak aspek dalam hidup, masalah kesehatan yang mulai menimpa dirinya membuatnya merasa sudah saatnya untuk pergi.
Keputusan Kahneman ini tidak hanya mencerminkan pandangan pribadinya tetapi juga hasil dari penelitian yang selama ini dia lakukan. Banyak teman dan kolega di bidang psikoemosional berpendapat bahwa langkah yang diambil oleh Kahneman konsisten dengan hasil riset yang telah dia jalani. Philip Tetlock, seorang psikolog di University of Pennsylvania, mengatakan, “Saya menduga dia menghitung kalkulus hedonis kapan beban hidup akan mulai lebih berat daripada manfaatnya.” Hal ini menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh penelitian Kahneman terhadap pandangan hidup dan keputusannya untuk berakhir dengan cara yang diinginkan.
Dalam konteks etika dan moral, keputusan Kahneman memancing perdebatan tentang euthanasia dan hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri, terutama di negara-negara yang masih melarang praktik tersebut. Ketika Kahneman merencanakan kematiannya, ia menyadari bahwa keputusan tersebut mungkin tidak diterima oleh semua orang, bahkan oleh orang-orang terdekatnya. “Namun, aku membuat keputusan itu justru karena aku ingin menghindari keadaan di mana hidupku tidak layak diperpanjang,” tulisnya. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan ini diberikan bukan tanpa pemikiran yang mendalam.
Meskipun di akhir hidupnya Kahneman masih aktif dalam penelitian, terus bekerja pada beberapa makalah, keputusan untuk mengakhiri hidup ini menunjukkan paradoks antara semangatnya untuk berkontribusi dan keinginannya untuk menghindari penderitaan di usia tua. Dengan kata-kata terakhirnya yang kuat dan penuh makna, Kahneman meninggalkan warisan yang lebih dalam bukan hanya melalui penelitiannya, tetapi juga melalui refleksinya tentang hidup dan kematian.
Kisah Daniel Kahneman menjadi pengingat bahwa di balik pencapaian akademis yang signifikan, ada juga perjuangan individu dengan masalah eksistensial. Keputusannya untuk mengakhiri hidupnya secara terencana menyentuh isu-isu besar yang dihadapi banyak orang di usia tua atau dalam keadaan kesehatan yang menurun. Kahneman akan selalu dikenang sebagai tokoh yang tidak hanya mengubah cara kita melihat pengambilan keputusan, tetapi juga sebagai sosok yang memilih jalan hidupnya dengan kesadaran penuh.