THR Driver Ojol: Keseimbangan Regulasi dan Hak Pekerja

Tunjangan Hari Raya (THR) bagi driver ojek online (ojol) kini menjadi isu penting yang tengah dibahas oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan serikat pekerja. Isu ini muncul dari ketidakpastian status hukum driver ojol yang dinilai sebagai mitra independen, bukan karyawan, sehingga mereka tidak mendapatkan hak yang sama seperti pekerja formal berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menurut regulasi yang ada, THR diwajibkan untuk pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Namun, kepastian hukum ini tidak berlaku bagi driver ojol. Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, menegaskan bahwa hubungan kerja antara driver ojol memiliki tiga unsur penting, yaitu pekerjaan, upah, dan adanya perintah dari platform. Oleh karena itu, mereka berhak diakui sebagai pekerja formal dan mendapatkan THR. SPAI mendesak Kemnaker untuk mengeluarkan regulasi THR khusus bagi driver ojol sebagai payung hukum yang jelas.

Saat ini, Kemnaker hanya memberikan imbauan kepada perusahaan platform untuk memberikan THR atau insentif Lebaran secara sukarela. Tanggapan ini disambut oleh Grab yang pada tahun 2024 memberikan insentif hari raya, meskipun hal ini bukan THR formal. Meskipun demikian, SPAI menegaskan bahwa langkah ini tidak cukup dan meminta adanya aturan yang lebih mengikat untuk melindungi hak-hak para driver.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan, menyatakan bahwa pihaknya tengah melakukan kajian terkait status kemitraan driver ojol. Kajian ini juga merujuk pada praktik di Inggris yang mengakui driver sebagai pekerja berhak menerima tunjangan. Kemungkinan revisi regulasi ini diharapkan dapat terlaksana pada tahun 2025, mengingat adanya desakan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan persoalan ini.

Adapun perusahaan platform seperti Gojek dan Grab menyatakan bahwa hubungan kemitraan memberikan fleksibilitas bagi para driver. Namun, SPAI menganggap kebijakan ini tidak adil karena tarif yang rendah dan potongan hingga 50% dari pendapatan mereka. Beberapa isu kunci yang diangkat adalah sebagai berikut:

– Insentif vs THR: Perusahaan lebih cenderung memberikan “insentif Lebaran” alih-alih THR, dengan besaran yang bervariasi dan tidak terstandarisasi.
– Audit Transparansi: SPAI meminta dilakukan audit independen terhadap pendapatan dan potongan yang dikenakan oleh platform untuk memastikan keadilan bagi semua driver.

Tuntutan dari serikat pekerja terdiri dari empat poin utama: pertama, pengesahan regulasi THR wajib untuk ojol, taksi online, dan kurir; kedua, pelibatan serikat pekerja dalam pembuatan kebijakan melalui forum tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja; ketiga, penetapan batas maksimal potongan yang dikenakan oleh platform sebesar 20%, sesuai dengan Permenaker No. 6/2016; keempat, peninjauan ulang status kemitraan untuk menuju pengakuan sebagai pekerja formal.

Menjelang Lebaran 2025, tekanan terhadap Kemnaker semakin menguat. Jika kajian status kemitraan selesai, Indonesia mungkin akan mengadopsi model Inggris dalam mengakui driver ojol sebagai pekerja berhak menerima tunjangan. Di sisi lain, perusahaan platform dituntut untuk meningkatkan transparansi dan kesejahteraan mitra driver mereka tanpa harus menunggu regulasi baru. Dengan demikian, diharapkan ada titik temu antara regulasi, hak pekerja, dan kebijakan perusahaan yang dapat memberikan perlindungan dan kepastian bagi semua pihak yang terlibat dalam industri ini.

Exit mobile version