Trump Tarik AS dari Dewan HAM PBB, Israel Merapat Bersama!

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengambil langkah kontroversial dengan menarik negaranya dari keanggotaan Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) pada Selasa, 4 Februari 2025. Keputusan ini disambut baik oleh Israel, yang langsung mengikuti langkah AS dan menyatakan tidak akan berpartisipasi dalam dewan tersebut. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, menyampaikan dukungannya melalui media sosial, menegaskan posisi satu suara antara AS dan Israel terhadap UNHRC.

Keputusan Donald Trump untuk meninggalkan UNHRC bukanlah hal baru. Sebelumnya, ia juga melakukan hal yang sama pada tahun 2018, dengan mengkritik dewan karena dianggap berpihak dan bias terhadap Israel. Pada saat itu, Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, menyampaikan bahwa banyak negara anggota dewan tersebut melanggar hak asasi manusia, sehingga dewan tidak layak dipercaya untuk menilai isu-isu HAM di seluruh dunia.

Dalam pengumumannya, Trump mengungkapkan kekecewaannya terhadap PBB dan menilai organisasi tersebut belum memenuhi potensi maksimalnya. Ia menekankan bahwa PBB seharusnya bersikap adil terhadap negara-negara yang berhak mendapatkan keadilan. “Saya selalu merasa bahwa PBB memiliki potensi luar biasa. Saat ini PBB belum memenuhi potensi itu. Mereka harus memperbaiki tindakan mereka,” ujar Trump.

Trump tidak hanya mengumumkan penarikan diri dari UNHRC, tetapi juga menghentikan bantuan dana untuk badan PBB yang mengurusi pengungsi Palestina, UNRWA. Langkah ini berlanjut setelah mantan Presiden Joe Biden sebelumnya menghentikan pendanaan pada Januari 2024 setelah adanya tuduhan bahwa 12 staf UNRWA terlibat dalam serangan pada 7 Oktober 2023. Penghentian bantuan dari AS direncanakan berlangsung hingga Maret 2025.

Konsekuensi dari langkah tersebut mengguncang komunitas internasional dan menimbulkan berbagai spekulasi mengenai kebijakan luar negeri AS di masa depan. Sebelum penarikan diri ini, Dewan HAM PBB yang berbasis di Jenewa, Swiss, terdiri atas 47 negara anggota. Penarikan diri AS dan Israel mungkin akan memengaruhi dinamika kebijakan global terkait hak asasi manusia, terutama dalam konteks konflik di Timur Tengah.

Langkah ini juga menciptakan efek domino di kalangan negara-negara lain. Israel, yang juga merasa terpinggirkan di bawah kritik-kritik yang sering dilontarkan oleh anggota dewan, kuat yang untuk tidak berpartisipasi. Sa’ar mencatat bahwa Israel berdiri teguh dalam posisinya dan sepakat dengan apa yang dilakukan AS. Ini mencerminkan solidaritas yang kuat antara kedua negara tersebut.

Penarikan keanggotaan ini menunjukkan pergeseran yang signifikan dalam posisi AS terhadap lembaga-lembaga internasional, yang mungkin akan mempengaruhi hubungan diplomatiknya dengan negara lain. Sikap yang diambil oleh Trump dalam konteks ini tampaknya bertujuan untuk menciptakan citra yang lebih kuat bagi AS di mata para pendukung kebijakan luar negeri yang lebih konservatif. Namun, hal ini tentu dapat menghasilkan konflik dan ketegangan baru di arena internasional.

Langkah Trump menjadi salah satu dari sekian banyak pernyataan kontroversial selama masa kepresidenannya yang berpotensi mengubah lanskap politik global. Penarikan diri ini mungkin menciptakan tantangan bagi negara-negara lain untuk beradaptasi dengan realitas baru dalam diplomasi internasional, di mana kriteria penilaian terhadap negara-negara pelanggar HAM mungkin mengalami penurunan. Dengan pergeseran ini, masa depan Dewan HAM PBB dan efektivitasnya dalam menangani isu hak asasi manusia menjadi semakin diragukan.

Exit mobile version