Aset milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris, Prancis, kini berada dalam ancaman setelah pengadilan setempat mengabulkan permohonan eksekusi dari perusahaan Navayo International AG. Perusahaan yang berbasis di Eropa tersebut mengklaim hak atas properti pemerintah Indonesia, yang terlibat dalam sengketa panjang terkait proyek pengadaan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) sejak tahun 2016.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan bahwa eksekusi tersebut melanggar Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik yang menjaga aset diplomatik dari penyitaan. Dalam konferensi pers pada 20 Maret 2025, Yusril menegaskan, “Itu menyalahi Konvensi Wina untuk pelindungan terhadap aset diplomatik yang tidak boleh disita begitu saja dengan alasan apa pun.”
Sengketa ini berakar dari kontrak yang ditandatangani antara Kementerian Pertahanan RI dan Navayo International AG pada tahun 2016. Sesuai kesepakatan, setiap sengketa harus diselesaikan melalui arbitrase di Singapura. Di pengadilan arbitrase tersebut, Indonesia kalah dan diwajibkan membayar ganti rugi dalam jumlah besar kepada Navayo. Namun, tidak terpuaskan dengan hasil arbitrase, Navayo meneruskan kasusnya ke pengadilan Prancis pada tahun 2022, yang menghasilkan izin penyitaan aset Indonesia di Paris, termasuk rumah tinggal pejabat diplomatik.
Yusril menekankan betapa seriusnya situasi ini, karena kekalahan Indonesia di arbitrase tersebut menimbulkan preseden yang bisa mengancam aset diplomatik negara lain di masa mendatang. “Masalah ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah Prancis karena bisa menjadi preseden global. Jika pengadilan negara tertentu bisa menyita aset diplomatik akibat sengketa dengan perusahaan swasta, maka negara lain bisa mengalami hal yang sama,” imbuhnya.
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Rencana untuk melawan keputusan pengadilan tersebut dengan berbagai upaya diplomasi sedang disiapkan. Yusril dijadwalkan berkunjung ke Paris pada akhir Maret untuk menghadiri pertemuan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pertumbuhan Ekonomi (OECD) serta membahas isu ini dengan Menteri Kehakiman Prancis. Selain itu, pemerintah juga akan melakukan peninjauan ulang terhadap jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan, mengingat Navayo diduga melakukan wanprestasi.
Dalam kasus ini, penelitian oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan bahwa nilai pekerjaan yang sah dilakukan oleh Navayo hanya mencapai Rp 1,9 miliar, jauh di bawah jumlah kontrak yang disepakati. “Ketika kita kalah di arbitrase Singapura, kita harus membayar dalam jumlah yang sangat besar,” kata Yusril, menegaskan ketidakpuasan terhadap arbitrase.
Upaya penegakan hukum juga sedang dilakukan di dalam negeri. Kejaksaan Agung Indonesia telah melakukan penyelidikan atas dugaan korupsi dalam proyek ini, dan pihak Navayo telah dipanggil untuk diperiksa berkali-kali, namun tidak hadir. Jika bukti cukup ditemukan, pemerintah berencana untuk menetapkan Navayo sebagai tersangka dan meminta Interpol untuk menangkap serta membawa mereka kembali ke Indonesia.
Pemerintah kini dalam keadaan siaga untuk mencegah aset negara jatuh ke tangan pihak asing. Rapat koordinasi yang dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi, termasuk Wakil Menko Polhukam dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, berlangsung untuk merencanakan langkah-langkah selanjutnya terkait situasi mendesak ini.
Krisis ini tidak hanya menjadi masalah hukum, tetapi juga menciptakan tanggung jawab diplomatik yang akan terus diperhatikan oleh pemerintah. Upaya untuk melindungi aset dan martabat negara dalam konteks internasional menjadi semakin krusial dalam menghadapi tantangan dan tuntutan dari pihak swasta.