Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam keputusan Komisi I DPR RI dan pemerintah yang memilih untuk membahas revisi Undang-Undang TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, pada akhir pekan lalu. Dalam sambutannya, Wakil Koordinator KontraS, Andri Yunus, menegaskan bahwa pemilihan lokasi yang mewah tersebut menunjukkan ketidakpekaan pemerintah terhadap situasi ekonomi yang sulit dan usaha untuk efisiensi anggaran yang telah diinstruksikan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Rapat yang berlangsung dari Jumat (14/3/2025) hingga Sabtu (15/3/2025) ini, menurut koalisi, dianggap sebagai bentuk pemborosan anggaran negara. “Pemerintah seakan tidak memiliki rasa malu dan hanya berpura-pura peduli di tengah upaya penghematan belanja negara, bahkan mengurangi alokasi dana untuk sektor-sektor penting, termasuk pendidikan dan kesehatan,” ujar Andri. Kritik ini mencuat karena justru di tengah kebijakan efisiensi, pemerintah melakukan aktivitas yang dianggap memboroskan anggaran.
Sikap pemerintah ini, lanjutnya, seakan menjadi bukti bahwa retorika pemotongan anggaran hanyalah sekadar gimmick belaka. Ia menyebut tindakan ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan dan demokrasi, serta menilai bahwa proses pembahasan yang dilakukan secara tertutup di hotel mewah menunjukkan minimnya transparansi dan partisipasi publik. “Pembahasan ini harus dihentikan, karena dilaksanakan secara diam-diam, jauh dari keterlibatan masyarakat,” tegasnya.
Penggunaan hotel mewah untuk rapat dinilai memicu semakin dalamnya skeptisisme masyarakat terhadap komitmen pemerintah dalam mewujudkan efisiensi dan akuntabilitas. Rapat ini diadakan dalam waktu singkat, menjelang akhir masa reses DPR, menimbulkan kekhawatiran bahwa keputusan besar akan diambil tanpa memahami kebutuhan serta pendapat masyarakat luas. Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya Saputra, berpendapat bahwa pembahasan RUU TNI ini dilakukan tergesa-gesa, bahkan tanpa memperhatikan asas partisipasi publik yang seharusnya menjadi pegangan.
Fakta bahwa RUU TNI ini menyita perhatian publik juga terlihat dari kritik mengenai potensi terjadinya pelanggaran prinsip demokrasi jika prosesnya tidak melibatkan partisipasi yang memadai. Sejak pengajuan surat presiden (Surpres) Nomor R12/PRES/2/2025 ke DPR RI, ada indikasi kuat adanya upaya percepatan pengesahan RUU yang dianggap kontroversial ini. Dimas memperkirakan bahwa RUU TNI tersebut ditargetkan untuk disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 20 Maret 2025.
Di tengah kritik ini, sulit untuk menampik bahwa kesepakatan untuk menggelar rapat di hotel mewah bagi beberapa kalangan dirasa tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengurangi pengeluaran. Beberapa anggota Komisi I DPR RI yang terlibat dalam Panitia Kerja (Panja) RUU TNI pun enggan memberikan komentar terkait penyelenggaraan rapat ini. Satu-satunya anggota yang mengonfirmasi adalah TB Hasanuddin dari Fraksi PDIP, tetapi ia hanya menyatakan bahwa rapat tersebut masih dalam tahap membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan oleh pemerintah.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang mengawasi proses ini terus mendorong transparansi dan akuntabilitas lebih dalam pembahasan RUU TNI. Mereka menyerukan perlunya partisipasi publik yang lebih luas dalam setiap proses legislasi, khususnya pada isu-isu yang menyangkut kepentingan banyak orang. Dengan segala dinamika yang terjadi, tampaknya komitmen terhadap reformasi dan keadilan di sektor keamanan masih perlu dipertanyakan, terutama ketika membahas keberlanjutan dan transparansi anggaran publik dalam situasi sulit ini.