Duh! Rupiah Diprediksi Anjlok ke Rp16.800 per Dolar AS di 2025

JAKARTA, Podme – Dolar AS kembali menekan nilai tukar rupiah, dan berdasarkan proyeksi yang disampaikan oleh Head of Deposit and Wealth Management UOB Indonesia, Vera Margaret, rupiah diperkirakan akan jatuh hingga Rp16.800 per dolar AS pada kuartal III tahun 2025. Proyeksi ini menjadi perhatian banyak pihak mengingat dampaknya yang luas terhadap perekonomian Indonesia.

Dalam konferensi pers yang diadakan pada Jumat, 24 Januari 2025, Vera mencatat bahwa pada akhir tahun 2024, rupiah akan ditutup di angka Rp16.500 per dolar AS, namun puncak penurunan diperkirakan akan terjadi di kuartal III 2025. “Kami memperkirakan kemungkinan terburuk bagi rupiah ada di level Rp16.800,” ungkapnya.

Prediksi tersebut berkaitan erat dengan keputusan Federal Reserve (The Fed) yang akan menurunkan suku bunga dari level 5,00-5,25 persen menjadi 4,50-4,75 persen. Langkah ini diyakini akan memberikan dampak signifikan terhadap pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Vera mengingatkan bahwa ambruknya nilai tukar rupiah ini tidak hanya menjadi masalah untuk nilai tukar, tetapi juga akan berdampak pada inflasi domestik.

Menurut studi yang dilakukan oleh ekonom UOB, inflasi di Indonesia diperkirakan akan mencapai 2,5 persen pada tahun 2025. Ini menunjukkan kenaikan dari prediksi sebelumnya yang hanya 2,3 persen. Kenaikan inflasi ini disebabkan oleh faktor-faktor berikut:

  1. Kenaikan Harga Bahan Baku: Pelemahan rupiah akan membuat harga bahan baku industri terus meningkat, yang pada gilirannya dapat membuat barang konsumsi menjadi lebih mahal.

  2. Kenaikan Permintaan: Dengan kondisi ekonomi yang berangsur pulih, meningkatkan permintaan masyarakat akan barang dan jasa juga berkontribusi pada inflasi.

  3. Suplai yang Berkurang: Jika pasokan barang tidak dapat memenuhi permintaan yang terus meningkat, maka harga barang akan terus melambung.

Vera menambahkan, untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar dan mendukung pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia (BI) diharapkan untuk melakukan pemotongan suku bunga sebanyak 2-3 kali pada tahun 2025. “Kami percaya bahwa dengan adanya ekspektasi penurunan suku bunga dari The Fed, BI akan melakukan langkah serupa untuk menjaga nilai tukar rupiah,” jelas Vera.

Sikap hati-hati ini menunjukkan bahwa BI tidak hanya perlu merespon terhadap perubahan kebijakan moneter global, tetapi juga harus memantau dinamika internal yang dapat mempengaruhi daya beli masyarakat. “Keputusan ini dilakukan karena kami ingin mendorong pertumbuhan ekonomi sambil tetap memantau risiko inflasi yang muncul,” tambahnya.

Dampak dari fluktuasi nilai tukar rupiah ini dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Kenaikan harga barang konsumsi yang disebabkan oleh inflasi dapat membawa beban tambahan bagi konsumen. Misalnya, barang kebutuhan sehari-hari seperti makanan, bahan bakar, dan barang elektronik kemungkinan akan mengalami peningkatan harga. Hal ini dapat memicu keresahan di kalangan masyarakat jika langkah-langkah kebijakan yang tepat tidak diambil untuk mengatasi inflasi yang meningkat.

Melihat dari proyeksi yang ada, pergerakan nilai tukar rupiah menjadi salah satu isu yang harus dicermati baik oleh pelaku pasar, pemerintah, maupun masyarakat. Stabilitas ekonomi dan harga-harga dapat terancam jika respon yang tepat tidak segera dilakukan, terutama ketika mengingat bahwa perekonomian Indonesia masih dalam fase pemulihan pascapandemi.

Dengan latar belakang ini, tetap penting untuk memantau perkembangan ekonomi lokal dan global seiring dengan kebijakan yang terus menerus diambil oleh Bank Indonesia dan The Fed. Dampak dari kebijakan tersebut akan terlihat jelas di lapangan, terutama terkait daya beli masyarakat dan stabilitas harga barang. Dalam rentang waktu yang semakin dekat, perhatian terhadap nilai tukar rupiah dan prediksi inflasi harus menjadi salah satu prioritas utama dalam pembahasan ekonomi di tanah air.

Exit mobile version