Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menekankan pentingnya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sedang dibahas tidak hanya terfokus pada asas dominus litis, tetapi juga harus mengutamakan aspek pengawasan antarlembaga. Hal ini disampaikan oleh peneliti ICJR, Iftitahsari, dalam diskusi bertajuk “RUU KUHP Memperkuat Sistem Peradilan Pidana Terpadu” yang berlangsung di Cikini, Jakarta Pusat, pada Jumat (21/3/2025).
Iftitahsari memperingatkan bahwa saat ini terdapat potensi adanya kepentingan terselubung dari berbagai lembaga penegak hukum yang berusaha memperluas kewenangan mereka. Dia menegaskan bahwa publik perlu waspada terhadap narasi yang muncul, terutama yang menekankan penguatan asas dominus litis yang bisa menguntungkan pihak tertentu. “Kita jangan sampai terjebak di narasi yang itu sebetulnya kepentingan-kepentingan lembaga tertentu yang tujuannya ingin memperbesar kewenangan,” ujar Iftitahsari.
Dalam diskusi yang dihadiri oleh berbagai narasumber ahli hukum, seperti Wakil Ketua Komnas HAM AH Semendawai, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, dan Pakar Hukum Margarito Kamis, muncul kesepakatan bahwa pengawasan antarlembaga mutlak diperlukan. Iftitahsari menekankan bahwa tidak boleh ada penyerahan kewenangan secara total kepada satu lembaga, agar kekuasaan tidak disalahgunakan.
Ketua DPN Peradi, Luhut MP Pangaribuan, turut menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga penegak hukum berlomba-lomba menambah kekuasaan mereka melalui revisi KUHAP. Ia mengungkapkan bahwa balapan kekuasaan ini menyebabkan benturan antara diferensiasi fungsional Polri sebagai penyidik utama dan asas dominus litis yang diperjuangkan oleh Kejaksaan. “Mereka berlomba-lomba menambah kewenangannya masing-masing. Namun poin yang harus disepakati adalah Polri sebagai penyidik utama tidak bisa diganggu,” tegasnya.
Wakil Ketua Komnas HAM, AH Semendawai, menambahkan bahwa semakin besar kewenangan suatu lembaga, akan semakin besar pula peluang terjadinya korupsi. “Kalau sepenuhnya kepada satu lembaga misalnya tanpa ada pengawasan yang lain, ini kan kalau dia nggak jalan berarti berhenti tuh kasusnya. Jadi bagaimana masyarakat bisa mencari keadilan,” ungkapnya. Semendawai mengingatkan bahwa proses penuntutan yang sepenuhnya merupakan kewenangan kejaksaan menimbulkan masalah jika jaksa tidak menuntut perkara yang dianggap perlu oleh publik.
Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan menyoroti tentang posisi jaksa dalam sistem pidana yang selama ini tidak mewakili korban, melainkan norma hukum. Dia berpendapat bahwa perlu ada upaya untuk menyeimbangkan perlakuan terhadap korban dan terdakwa. Tardi menjelaskan bahwa selama ini banyak perkara mengalami penundaan peradilan akibat berkas yang bolak-balik antara polisi dan kejaksaan, yang mengindikasikan tidak adanya sistem yang terpadu.
Sementara itu, Margarito Kamis mengingatkan bahwa penerapan asas dominus litis yang berpotensi memonopoli kewenangan oleh suatu lembaga harus dihindari. Ia menekankan pentingnya keseimbangan kekuasaan antarlembaga demi kelangsungan demokrasi yang sehat. “Tidak boleh ada lembaga negara mendominasi lembaga negara lain karena harus balancing,” ujar Margarito.
Dari semua perspektif yang disampaikan dalam diskusi, terlihat bahwa revisi KUHAP perlu ditangani dengan mendasar, terutama dalam hal pengawasan dan keseimbangan antara lembaga penegak hukum. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lembaga yang memiliki dominasi berlebih, dan setiap tahap dalam proses peradilan dapat berjalan dengan adil. Penekanan ini mencerminkan harapan akan sistem peradilan yang tidak hanya memenuhi aspek hukum, tetapi juga keadilan bagi seluruh masyarakat.