Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, mengemukakan pendapat terkait kritik yang muncul mengenai pelaksanaan rapat pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang digelar di Hotel Fairmont, Jakarta. Kritikan tersebut mengemuka di tengah upaya pemerintah untuk menerapkan efisiensi anggaran, dan Utut menilai bahwa kritik tersebut tidak seharusnya ditujukan secara sepihak kepada rapat Komisi I.
“Ya kalau itu pendapatmu. Coba kamu cek, UU Kejaksaan di Hotel Sheraton, UU Perlindungan Data Pribadi di Intercon, kok nggak kamu kritik?” ujar Utut saat menghadiri rapat di lokasi mewah tersebut pada 15 Maret 2025. Kata-kata ini menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap ketidakadilan dalam kritik yang dilontarkan kepada DPR, mengingat pelaksanaan rapat di hotel bukanlah hal yang baru bagi lembaga legislatif.
Utut juga menjelaskan bahwa pelaksanaan rapat di Hotel Fairmont merupakan bagian dari konsinyering, yang berarti pembahasan dilakukan dalam kelompok. Konsinyering pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan keputusan atau rekomendasi berdasarkan diskusi yang mendalam antar anggota. “Kamu tahu arti konsinyering? Konsinyering itu dikelompokan gitu,” tambahnya, menggarisbawahi pentingnya kualitas diskusi dalam konteks pembuatan undang-undang.
Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TNI ini dilaksanakan dari 14 hingga 15 Maret 2025. Dalam pembahasan tersebut, Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menyatakan bahwa terdapat 92 Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang perlu dibahas dalam revisi RUU TNI, di mana sekitar 40 persen sudah berhasil diselesaikan. “Semalam kita baru bisa menyelesaikan sekitar 40 persen dari jumlah DIM,” ungkapnya.
Kritik terhadap rapat yang berlangsung di lokasi mewah ini semakin meningkat, terutama dari koalisi masyarakat sipil yang merasa bahwa penggunaan fasilitas mewah di tengah masalah ekonomi adalah sinyal yang buruk. Mereka menuntut adanya transparansi dan komitmen dari pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi keuangan negara.
Namun, Utut menilai bahwa rapat di lokasi strategis dan berkualitas tinggi penting untuk menghasilkan hasil yang maksimal dalam pembahasan rancangan undang-undang. Dalam konteks itu, pelaksanaan di hotel tidak sepatutnya dicap sebagai pemborosan anggaran jika tujuannya adalah untuk menghasilkan produk hukum yang substantif.
Dalam rapat ini, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini menegaskan bahwa proses legislasi perlu diperkuat dengan diskusi yang berkualitas. Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan mengadakan rapat yang nyaman dan kondusif. “Kita harus bisa menyerap ide-ide dan masukan dengan baik, sehingga undang-undang yang dihasilkan nanti akan sesuai dengan harapan masyarakat,” jelasnya.
Sejumlah jurus kritik yang dilayangkan kepada DPR terkait pemilihan lokasi rapat yang mewah ini diharapkan tidak menghentikan pelaksanaan diskusi yang esensial. Keterlibatan masyarakat dalam memberikan kritik yang konstruktif pun sangat penting agar bisa tercapai keseimbangan antara efisiensi anggaran dan kebutuhan untuk menghasilkan regulasi yang berkualitas.
Dalam situasi ini, penting untuk melihat lebih dari sekadar lokasi rapat, namun juga pada substansi dan kemanfaatan produk legislasi yang dihasilkan bagi masyarakat. Pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont ini setidaknya memberikan gambaran tentang betapa rumitnya proses pembentukan undang-undang dan tantangan yang dihadapi oleh DPR dalam memenuhi kebutuhan hukum negara.