Merantau dari Milan ke Jakarta Ft. Roberto Lorini
Eh gimana, gimana? Pindah dari Milan ke Jakarta? Kok bisa? Kok mau? Ikuti obrolan saya dengan Roberto yuk, kok bisa, mau dan betah di Jakarta? Gimana ceritanya? Apa saja hambatannya? Bagaimana dia mengatasi tantangan yang datang dan yang paling seru, apa sih yang bikin dia cinta Jakarta atau Indonesia in general sampe memutuskan menetap di sini?
Walau usianya belum 30, Nina atau biasa dipanggil “Mbu” atau ibu adalah ibu tidak hanya buat anaknya, tapi juga kawan-kawan di komunitas. Kepada Mbu, orang-orang yang datang kepadanya biasanya akan diajak mengenal perasaan atau emosi. “Kenali, apa perasaaan yang hadir? Lalu apa yang membuat perasaan itu hadir?”
Ah tentu saja dengan segala pengalamannya menjadi pelukis dan pengamen di Taman Suropati, menjadi ibu tunggal di usia muda, menjadi driver ojol hingga menjadi content creator, Mbu sudah mengalami perjalanan bersama perasaan yang hadir di dalamnya. Bagaimana mengenali dan mengurainya, yuk dengarkan obrolan saya dengannya!
Halo Podme Friends, episode kali ini kita akan bicara soal pendidikan seks dengan Susanti Rendra yang menyebut dirinya sebagai Happy People Supporter. Nah karena kontennya mengandung perbincangan soal seks, episode kali ini tidak diperuntukkan untuk anak-anak dibawah umur, dan episode ini memang dibuat untuk supaya kita mengerti tentang badan kita, tentang seks tapi dengan cara yang bertanggung jawab, semoga informasi ini bermanfaat dan dipergunakan untuk hal-hal yang baik dan tidak di salah gunakan.
Sedikit orang yang bisa bicara seks dengan santai dan tanpa terkesan porno. Susu salah satunya. Buatnya seks adalah bagian dari hidup, mestinya orang bisa bicara tentang seks sesimpel bicara tentang makanan, misalnya, “Ada menu apa aja sih? Malam ini mau yang mana?”. Satu hal yang Susu tekankan “Seks itu harus aman, nyaman dan menyenangkan.” Ikuti obrolannya dan silakan bertanya langsung kalau ingin tahu lebih jauh.
Halo Podme Friends, episode kali ini kita akan bicara soal pendidikan seks dengan Susanti Rendra yang menyebut dirinya sebagai Happy People Supporter. Nah karena kontennya mengandung perbincangan soal seks, episode kali ini tidak diperuntukkan untuk anak-anak dibawah umur, dan episode ini memang dibuat untuk supaya kita mengerti tentang badan kita, tentang seks tapi dengan cara yang bertanggung jawab, semoga informasi ini bermanfaat dan dipergunakan untuk hal-hal yang baik dan tidak di salah gunakan.
Susan, akrab dipanggil Susu, secara gamblang menyebut dirinya sebagai happy people supporter, buatnya setiap orang berhak bahagia, dimulai dengan mengenali, merasa nyaman, dan mencintai diri sendiri. Ini juga salah satu alasannya mendirikan Laciasmara, di sana selain menyediakan berbagai peranti asmara, ia kerap berbagi pengalamannya hingga mendedikasikan satu hari khusus untuk menjawab pertanyaan seputar seksualitas.
Merantau dari Milan ke Jakarta Ft. Roberto Lorini
Eh gimana, gimana? Pindah dari Milan ke Jakarta? Kok bisa? Kok mau? Ikuti obrolan saya dengan Roberto yuk, kok bisa, mau dan betah di Jakarta? Gimana ceritanya? Apa saja hambatannya? Bagaimana dia mengatasi tantangan yang datang dan yang paling seru, apa sih yang bikin dia cinta Jakarta atau Indonesia in general sampe memutuskan menetap di sini?
Belum lama sempat heboh kutipan viral “Life begins at 50.” Apa benar? Lalu sebelumnya ngapain? Mungkin kutipan itu untuk menegasi kenyataan banyak orang yang mulai merasa tua dan berhenti melakukan sesuatu saat umurnya mencapai 50. Tidak halnya dengan Ibe, begitu Dyah biasa dipanggil. Di usia menjelang 50 ia baru saja menyelesaikan S2 dan bahkan sedang berpikir untuk melanjutkan sekolah lagi. Bagaimana rasanya kuliah lagi saat 3 anaknya juga sedang kuliah? “Deg-degan. Tiap semester, biasanya gue yang nanya nilai mereka, sekarang mereka duluan yang nanya nilai gue.” Soal menjaga gairah untuk hidup, bertumbuh, di episode ini saya bacakan satu tulisan Ibe yang indah, soal ingatan dan perasaan, dua hal yang penting untuk keberlangsungan.
Ketika banyak orang bingung harus ngapain selama pandemi, Nuri malah menerbitkan 4 ebook, dalam waktu 3 bulan. Yang membedakan Nuri dari orang kebanyakan adalah dia selalu bisa melihat segala sesuatu dengan kacamata positif. Pengalamannya dituangkan dalam tulisan yang sehari-hari ia posting sebagai status, yang karena kocak, banyak direspon, dikomentari dan akhirnya menjelma menjadi buku. Tidak tanggung-tanggung 4 ebook. Semua dari pengalamannya saat tinggal dan bekerja di wilayah konflik, sekolah di Paris tanpa beasiswa, merawat ibunya yang menderita demensia, dan gegar budaya yang ia rasakan saat kembali ke Jakarta setelah 12 tahun tinggal di Eropa.
Kalo ada orang yang ditaro di manapun bisa survive mungkin Nuria adalah salah satunya. Sepanjang hidup ia pernah tinggal di Aceh, Kosovo, Palestina, Swedia, Paris, sebelum balik kembali ke Jakarta dan menemani ibunya yang mengidap demensia. Biasa aktif, either bekerja, melakukan penelitian, kuliah, traveling, bagaimana rasanya harus kembali ke Jakarta dan hidup 24 jam berdua saja dengan ibunya? Nuria juga bercerita bahwa jauh sebelum pandemi dan kita dipaksa melakukan apapun dari rumah, dia sudah menikmatinya, bahkan belajar, sekolah dan menulis Ciber Space, Cyber Culture. Ap aitu? Ikuti ceritanya di sini.
Hidup Mila seolah mengalir penuh kebetulan yang kemudian dijalani dengan penuh sukacita. Akhir tahun 90an sempat tidak bisa pulang ke Indonesia karena diblacklist, hingga harus menetap 5 tahun di Amerika menyelesaikan sekolahnya. Kembali ke Indonesia dan banyak berkiprah di isu lingkungan, kemanusiaan, hingga korupsi, Mila mundur sejenak untuk beristirahat. Saat pandemi bisnis baru justru lahir, diawali dari keisengan memasak untuk anak, teman, dan hanya dalam 9 bulan karyanya bahkan sudah dikirim ke seluruh Indonesia, Singapore dan Hongkong. Menyebut diri sebagai Chief of Joy di perusahaannya, latar belakang Mila dalam isu-isu terkait pembangunan berkelanjutan membuatnya memadukan kekayaan pangan lokal dalam masakan olahannya.
Setelah lebih dari 25 tahun berkarir, Wishnu akhirnya meninggalkan dunia korporasi dan mengejar mimpinya, berkarya, menciptakan musik. Hampir 5 tahun dihabiskan, mulai dari nol, untuk mewujudkan mimpinya. “Gue kan gak main alat musik, gak ngerti notasi, itungan 4/4 atau 6/8 aja gak ngerti.” Bagaimana ia melakukannya hingga berhasil menulis, menyanyi, memproduseri sejumlah lagu? Simak di sini. Baginya tidak ada kata terlambat untuk mengejar mimpi, yang penting take one step at a time and keep on going.
Mendengar nama Avi Basuki, yang teringat kemungkinan besar adalah salah satu top model Indonesia yang meniti karir secara internasional. Tidak banyak yang tahu saat ini Avi sudah kembali ke Indonesa, menikmati hidup di Bali sebagai content creator dan juga guru yoga. Kali ini Avi bercerita soal perjalanannya di dunia model yang membawanya ke Itali hingga menetap di sana, kembali ke Bali hingga terciptanya Sacranada.