Netanyahu Terancam? Mantan Hakim Israel Ungkap Syarat ICC Batalkan Penangkapan!

Mantan presiden Mahkamah Agung Israel, Aharon Barak, mengungkapkan bahwa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) kemungkinan akan membekukan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan menteri pertahanan Yoav Gallant. Hal ini dapat terjadi jika Israel membentuk komisi penyelidikan resmi untuk menyelidiki peristiwa yang terjadi pada 7 Oktober 2023 serta konflik yang mengikuti insiden tersebut. Pernyataan ini disampaikan Barak pada Jumat lalu dan menjadi sorotan di berbagai media.

Dalam wawancaranya, Barak yang juga pernah bertugas sebagai hakim ad-hoc di Mahkamah Internasional, menjelaskan bahwa dalam beberapa hari terakhir, dirinya telah berkomunikasi dengan pejabat di ICC untuk membicarakan posisi mereka terhadap kasus ini. Hasil dari diskusi tersebut menunjukkan bahwa ICC bersedia membatalkan pandangannya untuk menangkap Netanyahu dan Gallant jika langkah penyelidikan resmi dari pemerintah Israel terjadi. “Mereka (pejabat ICC) menegaskan bahwa jika komisi penyelidikan dibentuk, mereka akan membekukan keputusan penangkapan,” kata Barak.

Surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh ICC pada bulan November di tahun lalu untuk Netanyahu dan Gallant, serta pemimpin Hamas Ibrahim Al-Masri, diarahkan pada dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konflik di Gaza. ICC menganggap bahwa tindakan Netanyahu dan Gallant berada dalam jurisdiksi mereka karena meluasnya situasi ini ke Gaza serta Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Namun, ICC juga menghadapi tantangan terhadap jurisdiksi mereka dari Israel.

Respon Israel terhadap keputusan ICC menganggapnya sebagai tindakan anti-Semit. Netanyahu meminta negara-negara “beradab” di dunia untuk tidak menerapkan surat perintah tersebut. Meski demikian, beberapa negara seperti Amerika Serikat menolak untuk mengakui keputusan ICC, sedangkan Argentina dan Hungaria menyatakan bahwa mereka tidak akan menegakkan surat perintah penangkapan tersebut.

Sejak konflik yang dimulai pada Oktober 2023, ratusan ribu orang terpaksa mengungsi, dan lebih dari 48.500 jiwa—sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak-anak—telah kehilangan nyawa akibat serangan Israel di Jalur Gaza. Dalam situasi darurat ini, PBB juga memperingatkan akan adanya situasi yang berpotensi mengarah pada genosida. Pelapor khusus PBB, Francesca Albanese, menekankan pentingnya intervensi manusia untuk mencegah tragedi lebih lanjut di Gaza.

Masyarakat internasional kini terus menyoroti perlunya komisi penyelidikan yang independen untuk mengevaluasi peristiwa yang terjadi. Komisi semacam ini dianggap penting untuk mengembalikan kepercayaan dan validitas sistem peradilan di Israel, seperti yang disampaikan Barak. “Pemerintah yang dipimpin Netanyahu terus melemahkan sistem peradilan dan status internasional Israel,” ujarnya, menekankan urgensi pembentukan struktur yang mendukung keadilan.

Dalam beberapa kalangan, pembentukan komisi penyelidikan bisa menjadi langkah yang signifikan dalam meredakan ketegangan di wilayah tersebut, serta memberikan kejelasan hukum mengenai tuduhan yang dihadapi para pemimpin Israel. Dengan tersedianya hasil investigasi resmi, ICC dapat melakukan tindakan yang lebih terarah, yang pada akhirnya bisa membawa lebih banyak keadilan bagi para korban perang.

Kompleksitas situasi ini menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan akan tindakan konstruktif. Di tengah konflik yang masih berlangsung, tidak hanya kesehatan dan keselamatan warga sipil yang terancam, tetapi juga kredibilitas sistem hukum dan pemerintah di Israel berada pada titik kritis. Pendekatan transparan dan akuntabel diharapkan dapat menghadirkan solusi yang lebih adil, baik untuk pengadilan internasional maupun untuk masyarakat yang terkena dampak di lapangan.

Exit mobile version