Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengajukan permohonan red notice kepada Interpol serta pencabutan paspor mantan CEO Investree, Adrian Gunadi. Langkah ini diambil seiring dengan status Adrian yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) terkait dugaan tindak pidana dalam pengelolaan perusahaan fintech tersebut.
M. Ismail Riyadi, Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, menyatakan bahwa OJK terus berkoordinasi dengan penegak hukum untuk menuntaskan kasus ini. Dia menjelaskan bahwa upaya tersebut merupakan bagian dari proses hukum yang lebih luas serta merupakan respons terhadap keluhan para investor yang terdampak oleh masalah tersebut.
“Melalui kerja sama dengan Polri, kami telah mengajukan permohonan red notice kepada Interpol di Lyon, dan pencabutan paspor kepada Direktorat Jenderal Imigrasi,” ungkap Ismail dalam keterangan resminya pada Senin (3/2/2025). Dengan adanya red notice, OJK berharap kedua tersangka dapat segera dihadirkan untuk menjalani proses hukum yang diharapkan dapat memberikan kejelasan bagi investor.
Adrian Gunadi sebelumnya sudah dikenakan sanksi melalui mekanisme Penilaian Kembali Pihak Utama (PKPU) oleh OJK, sesuai dengan POJK Nomor 34/POJK.03/2018. Meskipun dia telah dicabut izin usahanya dari OJK, Ismail menegaskan bahwa sanksi tersebut tidak menghapus tanggung jawab Adrian atas dugaan tindak pidana yang lebih serius.
Adrian telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan hasil penyelidikan yang mendalam oleh OJK. Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, menyatakan, “Terkait dengan dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh eks CEO Investree, Adrian Gunadi telah masuk ke dalam daftar pencarian orang.” Pernyataan tersebut disampaikan dalam konferensi pers RDK Bulanan pada bulan Oktober lalu.
Investree sendiri mengalami pencabutan izin usaha dari OJK pada 21 Oktober 2024, akibat pelanggaran ketentuan modal dan berbagai aturan lain yang tercantum dalam POJK. OJK mencatat bahwa perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi persyaratan ekuitas minimum, dan kinerja operasionalnya terus memburuk. Hal ini tentu membuat para investor merasa khawatir dan mengalami kerugian.
Sebagai bagian dari upaya transparansi dan perlindungan nasabah, OJK menggandeng pihak terkait untuk menangani berbagai pengaduan dari investor. Sejak pencabutan izin usaha hingga akhir 2024, tercatat ada 85 pengaduan yang telah diterima OJK terkait Investree. Dalam rangka menangani hak dan kewajiban perusahaan, tim likuidasi juga telah ditunjuk oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
OJK menekankan bahwa tindakan ini merupakan upaya untuk menciptakan industri jasa keuangan yang lebih sehat dan terintegrasi. Mereka berharap agar setiap penyelenggara layanan fintech lending dapat memiliki integritas dan tata kelola yang baik, serta manajemen risiko yang memadai. “Kami ingin memastikan perlindungan yang terbaik bagi nasabah dan masyarakat,” tegas Ismail.
Kasus ini menandai perhatian lebih lanjut dari OJK dan Polri terhadap keberlanjutan tindakan penegakan hukum di sektor fintech, yang semakin berkembang di Indonesia. Dengan langkah-langkah yang diambil, diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap industri ini serta menjamin hak-hak para investor yang merasa dirugikan akibat tindakan maladministrasi.