Pantun yang dibacakan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam acara Retreat kepala daerah di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, belakangan ini mencuri perhatian publik. Pantun yang tampaknya sederhana ini, ternyata menyimpan makna yang lebih dalam dan diduga sebagai sindiran halus kepada mantan partainya, PDIP, yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri.
Isi pantun yang menggugah itu berbunyi, “Anak merajuk matanya merah, bertemu Pak Raden diberi kedondong. Kalau sudah jadi kepala daerah, perintah Bapak Presiden dipatuhi dong.” Melalui pantun ini, Gibran menyampaikan pesan yang jelas: bahwa para kepala daerah seharusnya mematuhi perintah Presiden Joko Widodo, yang juga merupakan ayahnya. Pendekatan yang digunakan Gibran dalam bentuk pantun ini seolah memberikan nuansa ringan, namun sangat tajam dalam menyampaikan kritikan.
Keberanian Gibran dalam menggunakan media sosial sebagai saluran untuk menyampaikan pesan ini menuai berbagai reaksi dari netizen. Dalam akun TikToknya, @gibran_rakabuming, unggahan tersebut mengundang komentar pro dan kontra. Seorang pengguna media sosial menyatakan, “Sehalus sutra cara wapres menyindir kepala daerah yang berasal dari Partai PDIP,” menunjukkan bahwa banyak yang membaca pesan tersirat di balik kata-kata Gibran.
Selain itu, reaksi lainnya masih berlanjut dengan menyatakan bahwa “kelas banget pantunnya, Megawati kepanasan dengar pantunnya mas wapres,” mempertajam kesan bahwa pantun ini menyentil secara langsung para kader yang masih dalam naungan PDIP. Komentar dari netizen lainnya pun memperlihatkan bahwa mereka merespons pantun tersebut dengan canda. Salah satunya, “Simpel tapi bisa bikin panas yang sebelah,” menunjukkan bahwa pesan Gibran bisa memicu ketegangan di antara rival politik.
Konteks di balik pantun ini juga menarik untuk disimak. Sebelumnya, Megawati telah memerintahkan kepala daerah kader PDIP untuk tidak hadir dalam retreat di Akmil Magelang, yang mengundang pertanyaan mengenai alasan di balik tindakan tersebut. Beberapa spekulasi menyebutkan, keputusan ini berkaitan dengan penahanan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang bisa jadi memicu ketegangan internal partai.
Melihat dari sudut pandang politik, pernyataan Gibran dalam bentuk pantun bukan hanya sekadar kelakar, tetapi bisa dianggap sebagai bentuk strategi komunikasi untuk mempertegas posisi politiknya dan mungkin juga mempertahankan jati dirinya di luar bayang-bayang PDIP. Dalam hal ini, Gibran seolah menunjukkan bahwa ia tetap berkomitmen pada tanggung jawabnya sebagai Wakil Presiden, sekaligus memberikan sinyal kepada kader PDIP untuk tidak melanggar perintah presiden.
Dalam kancah politik Indonesia saat ini, dinamika semacam ini seringkali menjadi sorotan, terutama ketika melibatkan figur-figur sentral dalam partai dan pemerintahan. Pantun Gibran menambah warna baru dalam arena politik yang kerap kali monoton, dan memberi ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam diskusi yang penuh warna.
Dalam kesimpulan, pantun Gibran adalah cermin dari ketegangan di antara generasi muda dan senior di dalam sebuah partai, serta mencerminkan bagaimana komunikasi politik dapat dilakukan dengan cara yang kreatif. Terlepas dari sisi humor yang tercipta, pesan yang disampaikan jelas dan lugas, memberikan gambaran mengenai hubungan antara pemimpin dan bawahannya dalam konteks pemerintahan saat ini. Pertanyaannya kini adalah, seberapa jauh dampak dari sindiran halus ini terhadap hubungan antara Gibran, PDIP, dan Mega ke depan?