Rupiah Makin Tak Berdaya, Tembus Rp16.340/USD: Apa Penyebabnya?

Nilai tukar rupiah kembali tertekan pada penutupan perdagangan Kamis, 6 Maret 2025, mencapai level Rp16.340 per dolar AS. Pelemahan ini tercatat dengan penurunan sebesar 27 poin atau 0,17 persen dibandingkan dengan posisi sebelumnya yang berada di Rp16.313 per dolar AS. Sebagai mata uang yang diperdagangkan secara luas, kondisi ini memicu perhatian di kalangan pengamat ekonomi dan investor.

Menurut pengamat mata uang Ibrahim Assuabi, pelemahan rupiah ini dipicu oleh kebijakan tarif impor yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap China. Meskipun Presiden AS Donald Trump mengumumkan penundaan selama satu bulan untuk tarif baru sebesar 25 persen terhadap Kanada dan Meksiko, negara tirai bambu tidak mendapatkan pengecualian. Kebijakan yang ditujukan pada China ini tetap berlaku, dimana tarif importasi barang dari negara tersebut meningkat menjadi 20 persen setelah sebelumnya dikenakan tarif 10 persen.

Ibrahim menjelaskan, “Presiden AS Donald Trump tidak membuat pengecualian dalam tarif 20 persennya terhadap Tiongkok, yang memicu kemarahan dan pembalasan dari Beijing.” Kenaikan tarif ini berpotensi menyebabkan ketidakpastian di pasar global, mendorong investor untuk beralih ke aset yang lebih aman, seperti dolar AS, yang pada gilirannya akan memperkuat mata uang tersebut dan lebih melemahkan rupiah.

Di tengah ketegangan perdagangan antara AS dan China, langkah-langkah balasan juga diambil oleh negara-negara lain. Kanada menetapkan tarif 25 persen terhadap produk-produk AS senilai 155 miliar dolar AS sebagai respons terhadap kebijakan tarif dari Washington. Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, menegaskan bahwa tarif ini akan berlaku hingga AS membatalkan kebijakan serupa. Meksiko pun berencana untuk memberikan tarif balasan terhadap produk-produk yang diimpor dari AS setelah diberlakukannya tarif 25 persen pada produk mereka.

Data dan kondisi yang menggerakkan pasar juga menunjukkan bahwa potensi tindakan balasan dari China terhadap kebijakan tarif AS akan semakin memperburuk sentimen pasar. Dalam kesempatan terpisah, pasar kini menantikan rilis data ketenagakerjaan Non-Pertanian AS untuk bulan Februari 2025, yang diharapkan dapat memberikan sinyal mengenai keputusan suku bunga bank sentral AS, Federal Reserve, dalam waktu dekat.

“Setiap tanda-tanda kekuatan yang terus-menerus di pasar tenaga kerja memberi Federal Reserve lebih banyak ruang untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama, yang merupakan hal positif bagi dolar,” kata Ibrahim. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan ekonomi AS yang diukur dari sektor pekerjaan dapat memberikan dorongan lebih lanjut kepada dolar dan mempertegas posisi rupiah yang semakin lemah.

Sementara itu, Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari yang sama justru menunjukkan penguatan pada level Rp16.315 per dolar AS, naik dari level sebelumnya di Rp16.371 per dolar AS. Hal ini menunjukkan adanya pergerakan yang menarik perhatian di pasar, meskipun secara umum rupiah tetap tertekan.

Kondisi ini menciptakan tantangan yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Pelaku usaha perlu bersiap menghadapi dampak dari fluktuasi nilai tukar yang dapat berdampak pada biaya impor, inflasi, dan daya saing produk lokal di pasar internasional. Dengan ketidakpastian yang melanda pasar global, fokus utama kini adalah bagaimana Indonesia dapat menjaga stabilitas ekonominya sembari menghadapi tekanan dari faktor eksternal yang tidak menentu.

Exit mobile version