Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengungkapkan temuan mencengangkan terkait menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disediakan kepada masyarakat. Menurut kajian terbaru, sekitar 45 persen dari menu MBG tersebut masih mengandalkan produk ultra processed food (UPF) yang tinggi kadar gula. Temuan ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara program kesehatan nasional dan praktik penyajian makanan yang dilakukan.
Penting untuk dicatat bahwa dalam pedoman teknis MBG, belum terdapat pembatasan tegas terhadap penggunaan pangan ultra proses. CEO dan pendiri CISDI, Diah Satyani Saminarsih, menegaskan bahwa memberikan batasan terhadap pangan ultra proses dalam menu MBG sangat penting. “Produk-produk ini biasanya mengandung kadar gula, lemak, dan garam yang tinggi, yang merupakan salah satu penyebab utama meningkatnya prevalensi obesitas serta penyakit tidak menular lainnya,” ujarnya dalam diskusi peluncuran seri kedua kajian MBG di Jakarta pada 6 Februari 2025.
Konsumsi pangan ultra-proses yang tinggi berpotensi merusak pola makan sehat, menggantikan makanan tradisional yang lebih bergizi. “Pangan ultra-proses diolah secara industri dan menciptakan rasa yang adiktif, mendorong konsumsi kalori yang meningkat,” jelas Diah. Dengan preferensi terhadap produk ini, generasi muda semakin jauh dari makanan yang lebih sehat dan bergizi.
Salah satu fokus kritis dari laporan ini adalah penggunaan susu kemasan berperisa yang dinilai tidak pantas dalam program MBG. Meskipun susu adalah sumber protein, banyak produk susu kemasan yang mengandung kadar gula berlebih serta zat inhibitor zat besi. Diah mengingatkan, “Jika zat inhibitor ini dikonsumsi bersamaan dengan sumber zat besi, penyerapan zat besi tersebut akan terhambat.”
Masalah ini semakin diperparah dengan fakta bahwa prevalensi anemia di kalangan remaja putri di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar satu dari tiga remaja mengalami anemia. Diah menekankan pentingnya edukasi mengenai waktu konsumsi produk-produk tersebut, terutama untuk remaja putri yang mengikuti program penurunan angka anemia dengan pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) dari empat kementerian terkait.
Dalam konteks ini, Diah juga menyarankan bahwa susu seharusnya tidak selalu menjadi pilihan utama sebagai sumber protein dalam menu. “Ada banyak pilihan protein yang lebih bernutrisi, seperti telur, tempe, daging, dan masih banyak lagi. Implementasi MBG seharusnya mengacu pada Pedoman Gizi Seimbang, bukan sekadar mengikuti standar yang lama,” imbuhnya.
Lebih lanjut, dalam program MBG seharusnya ada informasi yang jelas bagi konsumen tentang pilihan makanan yang lebih sehat dan bergizi. Edukasi terkait pola makan sehat harus menjadi salah satu agenda utama, agar masyarakat dapat membuat pilihan yang lebih baik dan mengurangi ketergantungan pada produk pangan yang tidak sehat.
Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang komposisi gizi makanan juga menjadi masalah yang harus diatasi. Tanpa pengetahuan ini, masyarakat cenderung mengonsumsi produk yang tidak sehat dalam jumlah yang berlebihan. Oleh karena itu, CISDI mendorong pemerintah dan pihak terkait untuk lebih aktif melakukan sosialisasi mengenai pentingnya gizi yang seimbang dan implikasinya terhadap kesehatan.
Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pola makan sehat, langkah-langkah nyata dalam revisi program MBG menjadi sangat penting untuk dilakukan. Upaya ini tidak hanya dapat menurunkan angka kasus obesitas dan penyakit tidak menular lainnya, namun juga mendukung penerapan gaya hidup sehat yang berkelanjutan di kalangan masyarakat Indonesia.