Untung-Rugi Perang Dagang AS vs Kanada: Dampaknya bagi Ekonomi RI

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru saja mengeluarkan kebijakan baru dengan menaikkan tarif impor terhadap Kanada, Meksiko, dan China. Kebijakan ini, yang dipandang sebagai bagian dari strategi perang dagang, memberikan dampak yang luas dan kompleks, termasuk bagi perekonomian Indonesia. Meskipun dampak tersebut bersifat tidak langsung, para ekonom memperingatkan akan adanya konsekuensi yang perlu diwaspadai.

Menurut Wijayanto Samirin, seorang ekonom dari Universitas Paramadina, Indonesia tidak akan langsung merasakan keuntungan atau kerugian dari konflik dagang ini. Namun, dinamika ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan Trump berpotensi memengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah dan harga komoditas. “Dinamika ekonomi global berpotensi membuat nilai tukar Rp dan harga komoditas global tidak stabil, serta aliran Foreign Direct Investment (FDI) dan portfolio investment terhambat; hal ini akan berdampak bagi ekonomi kita,” jelas Wijayanto.

Satu dampak serius yang harus dihadapi Indonesia adalah kemungkinan perlunya penyesuaian suku bunga. Wijayanto menambahkan, Indonesia mungkin harus menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap pengaruh sulit dari luar negeri, terutama saat negara sedang berupaya melakukan refinancing utang. Pemerintah berencana menerbitkan utang baru sekitar Rp 1.575 triliun di tahun 2025, memerlukan kondisi yang stabil untuk sukses. “Yang paling krusial, ini terjadi di saat kita perlu melakukan refinancing utang,” katanya.

Dari sisi investasi, perang dagang yang terus meningkat ini dapat menimbulkan ketidakpastian bagi investor. Secara khusus, investor asing mungkin akan meningkatkan pelepasan Surat Berharga Negara (SBN) dan portofolio investasi lainnya, yang dapat memperburuk kondisi keuangan pemerintah dalam jangka pendek.

Dalam konteks ini, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menunjukkan bahwa terlepas dari tantangan, terdapat peluang bagi produk ekspor Indonesia. “Meskipun produk ekspor Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara yang dikenakan tarif tinggi oleh AS, kondisi ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing produk di pasar Amerika,” katanya. Ini karena kebijakan baru Trump lebih menyasar negara-negara yang berkontribusi pada defisit perdagangan AS, termasuk Meksiko dan Kanada.

Di sisi positifnya, Faisal mencatat bahwa produk ekspor Indonesia memiliki kesamaan dengan produk-produk dari Vietnam yang juga terancam menghadapi tarif tinggi dari AS. Ini dapat memberi keunggulan bagi Indonesia di pasar AS, jika skenario tersebut diuji di masa depan. Namun, ia juga menekankan pentingnya pemerintah untuk tetap waspada dan mempersiapkan defensif terhadap kemungkinan diadakannya tarif tinggi untuk produk Indonesia. Jika tidak, industri seperti tekstil dan alas kaki dapat menjadi sasaran pertama yang terkena dampak negatif.

Dengan mengacu pada data terbaru, Biden akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan perekonomian dan mengelola dampak dari perang dagang yang melibatkan tarif baru ini. Kenaikan premi Credit Default Swaps (CDS) dan penjualan neto oleh non-residen di pasar SBN menjadi indikator tambahan bahwa investor semakin berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Langkah-langkah yang diambil oleh Trump tidak hanya mengancam pertumbuhan ekonomi global, tetapi juga memperburuk prospek investasi dan mungkin berimplikasi pada stabilitas finansial Indonesia. Mengingat semua ini, Indonesia perlu melakukan persiapan matang untuk tetap beradaptasi dengan kondisi yang selalu berubah dalam ekonomi global. Terutama bagaimana pemerintah dan pemangku kebijakan dapat mengelola risiko dan memanfaatkan peluang yang ada agar ekonomi nasional tetap tumbuh di tengah tantangan dari luar negeri.

Exit mobile version