Seorang wanita bernama Rhiannon Evans (25) dari Wales baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah divonis oleh pengadilan atas tuduhan melakukan pelecehan daring. Kasus unik ini bermula ketika Rhiannon mengirimkan video kentut kepada mantan pacar dari kekasihnya. Pada tanggal 22 Desember 2024, Rhiannon mengirim tiga video kentut kepada Deborah Prytherech dan empat video tambahan dalam beberapa hari berikutnya, termasuk pada Hari Tahun Baru 2025.
Tindakan Rhiannon tersebut, menurut jaksa, dianggap sebagai pelecehan yang tidak biasa. Dalam video tersebut, tampak Rhiannon meletakkan kamera ponselnya di belakang tubuhnya dan mengeluarkan gas sambil tersenyum ke arah kamera. Ini membuat Deborah merasa terganggu dan mengalami stres, sehingga ia melaporkan video tersebut kepada polisi.
Sidang kasus tersebut berlangsung di Pengadilan Magistrat Caernarfon, Wales, pada 29 Januari 2025. Dalam keterangannya, Rhiannon mengklaim bahwa video tersebut adalah bentuk ungkapan perasaannya karena pacarnya merasa diperlakukan tidak adil dalam perselisihan hak asuh anak dengan Deborah. Sementara itu, pengacara pembela Rhiannon berargumen bahwa kliennya dalam keadaan mabuk saat mengirim video dan mengalami masalah kesehatan mental. Mereka juga mempertanyakan mengapa Deborah tidak memblokir nomor Rhiannon jika merasa terganggu.
Di sisi lain, jaksa penuntut menilai tindakan Rhiannon sebagai pelecehan yang serius. Mereka mencatat bahwa Rhiannon terlihat menikmati setiap detik saat merekam video tersebut, sedangkan Deborah merasa sangat terganggu oleh tindakan itu. Jaksa juga menegaskan bahwa pelecehan daring bukan hanya tentang kata-kata kasar atau ancaman secara langsung, melainkan juga bisa melibatkan tindakan yang merendahkan dan mengganggu.
Setelah mengaku bersalah, Rhiannon diperintahkan untuk membayar denda hampir 300 poundsterling, yang setara dengan sekitar Rp 6 juta. Dari total denda tersebut, 100 poundsterling diantaranya adalah kompensasi untuk Deborah, dan sisanya merupakan biaya pengadilan. Selain itu, Rhiannon diwajibkan untuk mengikuti 15 sesi terapi dan dilarang mengonsumsi alkohol selama dua bulan. Selama dua tahun ke depan, ia juga dilarang menghubungi korban.
Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana tindakan yang dianggap sepele seperti mengirim video kentut dapat berujung pada konsekuensi hukum yang serius. Hal ini juga menunjukkan pentingnya kesadaran akan batasan dalam berinteraksi di dunia maya serta dampak psikologis yang mungkin ditimbulkan oleh tindakan semacam itu.
Perkembangan teknologi dan komunikasi digital semakin memengaruhi cara orang berinteraksi satu sama lain. Dengan semakin banyaknya platform media sosial, tindakan yang sebelumnya dianggap lucu atau tidak berbahaya bisa saja ditafsirkan sebagai pelecehan. Selain itu, ini menandai perubahan dalam persepsi hukum mengenai apa yang bisa dianggap sebagai pelecehan daring.
Kasus Rhiannon tidak hanya menjadi sorotan karena kelucuan latar belakangnya, tetapi juga menyiratkan perlunya perhatian yang lebih besar terhadap dampak psikologis dari tindakan-tindakan di dunia maya. Penggunaan media sosial harus dilakukan dengan hati-hati, terutama ketika terlibat dalam hubungan yang kompleks. Dalam konteks hukum, perlindungan terhadap individu dari pelecehan daring semakin diakui sebagai isu penting yang memerlukan penanganan serius dan bijak.