WNI Ditembak di Malaysia: Migrant Watch Soroti Kegagalan Perlindungan

Seorang warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai pekerja migran dilaporkan tewas akibat penembakan oleh petugas Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di Perairan Tanjung Rhu, Malaysia, pada Jumat, 24 Januari 2025. Kejadian tragis ini menimbulkan sorotan besar, terutama dari organisasi hak asasi manusia, seperti Migrant Watch, yang mengecam tindakan tersebut sebagai bukti kegagalan dalam perlindungan pekerja migran oleh kedua negara, Indonesia dan Malaysia.

Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan, memberikan pernyataan keras terkait insiden ini dan menganggapnya sebagai indikasi adanya masalah struktural dalam sistem tata kelola pekerja migran. Ia menilai bahwa kerja sama ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia selama ini lebih merupakan “lip service” semata, tanpa adanya perlindungan nyata terhadap hak asasi manusia. “Kerja sama ini tidak melindungi hak asasi manusia. Selama ini, kerjasama itu tidak lebih dari sekadar formalitas,” ujar Aznil.

Menjelang insiden ini, APMM yang bertugas melakukan patroli di perairan terpaksa mengambil tindakan yang berujung pada penembakan tersebut. Aznil menjelaskan bahwa banyak pekerja Indonesia yang memilih berangkat secara ilegal karena proses resmi yang rumit dan mahal. Hal ini menyebabkan munculnya praktik mafia penempatan yang merugikan para pekerja. “Masih banyak warga Indonesia memilih berangkat ke Malaysia secara ilegal karena cepat dan mudah,” tambahnya.

Dalam konferensi pers yang diadakan di Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), Wakil Menteri Christina Aryani menguraikan bahwa penembakan terjadi saat APMM sedang menjalankan aktivitas patrolinya. Lima orang WNI yang berada di dalam kapal yang beroperasi secara ilegal menjadi korban penembakan. Meskipun kasus ini memicu kecaman, Aznil menegaskan bahwa masalah yang lebih besar adalah bagaimana kedua belah pihak, baik Indonesia maupun Malaysia, tidak memiliki sistem yang dapat mengakomodasi kebutuhan pasar tenaga kerja di lapangan.

Berikut ini beberapa poin penting terkait masalah penembakan ini dan situasi pekerja migran:

1. Kegagalan Sistem: Keduanya, Indonesia dan Malaysia, tidak memiliki tata kelola yang baik yang mewadahi kebutuhan tenaga kerja, terutama untuk sektor informal.

2. Ilegalitas Pekerja: Banyak pekerja migran Indonesia berangkat ke Malaysia secara ilegal karena proses resmi yang rumit dan mahal, sehingga menempatkan mereka dalam risiko tinggi.

3. Penegakan Hukum: Migrant Watch mendesak agar pemerintah kedua negara menindak tegas tindakan penembakan yang tidak prosedural ini dan memastikan perlindungan kepada pekerja migran.

4. Kulture dan Bahaya: Permasalahan ini utama terletak pada kesulitan sistematis yang dihadapi pekerja migran pada umumnya, di mana kedua negara memiliki kesamaan bahasa dan budaya, seharusnya menjadi lebih menguntungkan bagi pekerja.

5. Permintaan Perbaikan: Aznil menekankan perlunya pemeriksaan terhadap sistem ketenagakerjaan yang ada serta perlunya pengawasan untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa yang akan datang.

Kasus penembakan ini menyoroti permasalahan yang lebih luas terkait perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Aznil Tan berharap di masa mendatang, baik pemerintah Indonesia maupun Malaysia harus bekerja sama untuk menciptakan sistem yang lebih baik dalam menghadapi tantangan ini, demi menghindari tragedi kemanusiaan yang dapat terjadi kembali.

Peristiwa ini mencerminkan perlunya penguatan regulasi dan kerjasama yang lebih baik dalam rangka perlindungan pekerja migran, yang adalah bagian penting dari perekonomian di kedua negara. Tanpa ada langkah konkret, masa depan pekerja migran Indonesia di luar negeri tetap berisiko tinggi, sementara tragedi serupa akan terus menghantui hubungan kedua negara.

Exit mobile version