Kapolsek Kayangan, Iptu Dwi Maulana Kurnia Amin, dicopot dari jabatannya setelah insiden penyerangan oleh massa di Mapolsek Kayangan, Lombok Utara, pada malam tanggal 17 Maret 2025. Pencopotan ini diumumkan melalui Telegram dari Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 21 Maret 2025. Selain Iptu Dwi, Kanit Reskrim berinisial J dan seorang anggota polisi berinisial LA juga dinonaktifkan.
Keputusan ini diambil untuk memberikan kemudahan bagi Divisi Propam Mabes Polri dan Bid Propam Polda NTB dalam menyelidiki dugaan keterlibatan anggota Polsek Kayangan dalam kejadian tersebut. Kapolres Lombok Utara, AKBP Agus Purwanta, mengonfirmasi langkah tersebut dan menyatakan bahwa Polda NTB telah menurunkan tim untuk menyelidiki penyebab penyerangan.
Penyelidikan dilakukan setelah aksi massa tersebut dipicu oleh kematian seorang warga berinisial RW yang diduga melakukan bunuh diri dengan menggantung diri. Sebelumnya, RW menjadi bagian dari dugaan pencurian ponsel di sebuah ritel modern, yang membuatnya diamankan oleh Polsek Kayangan dan dikenakan wajib lapor. Meskipun RW telah berdamai dan membayar ganti rugi kepada korban, kabar menyebutkan adanya ancaman dari oknum polisi yang mendesak RW untuk membayar lebih besar, yang meningkatkan tekanan psikologisnya.
Nasruddin, ayah RW, menuduh oknum polisi telah “membunuh mental” anaknya. Ia menggambarkan bagaimana RW merasa tertekan dan mengaku lebih baik mati daripada harus mengakui kesalahan yang tidak dilakukannya. Kejadian ini semakin menyulut kemarahan warga, yang kemudian menggeruduk Polsek Kayangan, melakukan perusakan serta membakar sepeda motor yang terparkir di sana.
AKBP Agus Purwanta menyatakan, “Sampai saat ini, kita sedang melakukan penyelidikan. Jika ditemukan pelanggaran, akan ada sanksi tegas sesuai hukum yang berlaku.” Pihak Polres Lombok Utara juga telah memeriksa sejumlah penyidik di Polsek Kayangan untuk mendapatkan kejelasan atas dugaan kesalahan prosedur dalam penanganan kasus RW.
Dalam pernyataan sebelumnya, Nasruddin mengungkapkan, “Anak kami tidak bunuh diri, tapi dibunuh mentalnya oleh oknum aparat.” Ia menyatakan bahwa RW tidak bermaksud mencuri, dan kasus tersebut seharusnya sudah selesai setelah adanya perdamaian dengan pihak korban. Namun, tekanan dari aparat justru semakin memburuk situasi yang dihadapi RW hingga akhirnya berujung pada tragedi tersebut.
Keputusan untuk mencopot Iptu Dwi dan dua anggota lainnya dari jabatannya diharapkan dapat menggugah institusi kepolisian untuk lebih berhati-hati dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan warga. Terlebih lagi, adanya dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh oknum polisi harus ditindaklanjuti untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Insiden ini bukan hanya mencerminkan kegagalan manajemen di internal Polsek, tetapi juga menyoroti isu lebih luas terkait interaksi antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Ketersinggungan emosional masyarakat terhadap tindakan aparat, terutama yang dianggap melanggar norma kemanusiaan, harus menjadi pelajaran berharga untuk perbaikan ke depan.
Polda NTB dengan cepat bertindak untuk menyelidiki dan menegakkan hukum, tidak hanya untuk kasus ini tetapi juga untuk memastikan bahwa situasi serupa tidak terulang di masa mendatang. Penegakan hukum yang berkeadilan dan transparan akan menjadi kunci dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian.