Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia meluncurkan pendekatan baru untuk membantu perokok berhenti, yakni melalui metode Tobacco Harm Reduction (THR). Metode ini diyakini memiliki potensi besar dalam menyelamatkan nyawa perokok di Indonesia, dengan laporan dari Global Health Consults yang mengungkapkan bahwa penerapan THR bisa menyelamatkan hingga 4,6 juta jiwa hingga tahun 2060.
Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, menyatakan bahwa pendekatan THR berfokus pada pengurangan risiko dari penggunaan tembakau. Dalam paparannya, Nadia menekankan bahwa THR bukan hanya sekedar peralihan ke produk alternatif, tetapi juga mencakup kebijakan, riset, dan pengembangan teknologi yang dapat mendorong perokok untuk berhenti merokok secara keseluruhan.
Data Kemenkes menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia. Fenomena ini menuntut adanya pendekatan yang lebih terbuka dalam merumuskan strategi baru untuk mengurangi risiko kesehatan akibat merokok, serta membantu perokok dalam proses berhenti. “Kemenkes memiliki beberapa program, termasuk Upaya Berhenti Merokok (UBM) melalui konseling di Puskesmas. Namun, kami menyadari bahwa implementasinya masih perlu ditingkatkan,” ungkap Nadia.
Dalam konteks ini, THR dapat menjadi salah satu alternatif yang menjadi perhatian. Mengomentari hal ini, dr. Ronny Lesmana, akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung dan penulis Laporan Lives Saved Report, menyatakan bahwa meskipun upaya untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya merokok sudah dilakukan secara masif, hasilnya belum menunjukkan pengurangan yang signifikan di jumlah perokok. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru, termasuk penerapan metode THR.
Ronny menjelaskan bahwa produk tembakau dengan risiko yang lebih rendah memiliki toksisitas lebih rendah dan dapat mengurangi inflamasi paru-paru. Data ini memberikan harapan bahwa THR dapat membantu meningkatkan kualitas hidup dan harapan hidup masyarakat. “Kita tidak bisa berdiam diri. THR memiliki potensi untuk menjadi alternatif yang lebih baik dalam mengatasi masalah kesehatan akibat merokok,” tambahnya.
Sementara itu, Prof. Tikki Pangestu, mantan Direktur Riset Kebijakan di World Health Organization (WHO), juga menekankan pentingnya penelitian lebih lanjut mengenai THR di Indonesia. Penelitian yang ada sebelumnya kebanyakan dilakukan di luar negeri, sehingga tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi perokok di tanah air. “Penelitian lokal tentang dampak kesehatan dan ekonomi perlu menjadi prioritas agar kebijakan yang dihasilkan lebih efektif,” tegas Tikki.
Dukungan terhadap penerapan THR juga diungkapkan oleh dr. Arifandi Sanjaya, seorang praktisi kesehatan yang telah menerapkan metode ini sejak 2014. Menurutnya, THR berhasil meningkatkan kualitas hidup sejumlah pasien yang terpapar risiko tembakau. “Sangat penting bagi pemerintah untuk merumuskan regulasi yang jelas mengenai THR dan menghubungkannya dengan penelitian yang ada. Membantu orang berhenti merokok adalah tantangan yang besar, sehingga kita perlu mengurangi dosis dan frekuensi penggunaan zat berbahaya,” ujarnya.
Menandai pentingnya penelitian dan pendekatan THR dalam mengatasi masalah merokok di Indonesia, berbagai pihak kini berupaya untuk mendorong serta membangun kesadaran tentang efek positif dari metode ini. Kemenkes berkomitmen untuk terus berkolaborasi dengan berbagai stakeholder dalam mengembangkan kebijakan yang berbasis bukti, agar upaya menanggulangi dampak kesehatan akibat rokok dapat dilakukan secara efektif. Pendekatan THR menawarkan harapan baru bagi jutaan perokok di Indonesia, dengan harapan dapat mengurangi angka perokok dan meminimalisir risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok.