Puluhan Pangkalan di Tasikmalaya Menolak Aturan Elpiji 3 Kg!

Puluhan pangkalan gas elpiji 3 kilogram (kg) di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, menolak keras kebijakan baru yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kebijakan tersebut melarang distribusi gas elpiji 3 kg ke pengecer dan hanya mengizinkan pengiriman langsung ke pangkalan. Situasi ini menuai keluhan dari warga setempat, yang merasa kesulitan dalam mendapatkan pasokan gas yang vital bagi kehidupan sehari-hari.

Kebijakan ini dikhawatirkan akan menyebabkan menyusutnya akses masyarakat terhadap gas elpiji 3 kg, yang selama ini merupakan sumber energi utama bagi banyak rumah tangga. Salah satu pengecer gas elpiji, Manaf (55), dari Desa Bojong Kapol, mengungkapkan kesulitan yang dihadapi masyarakat akibat dihentikannya pengiriman ke pengecer. “Kami harus mencari gas ke wilayah Singaparna yang berjarak sekitar 5 kilometer dengan kondisi jalan yang rusak. Satu tabung gas yang seharusnya dibeli seharga Rp 17 ribu, pada kenyataannya membuat kami harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 70 ribu,” ujarnya.

Protes ini tidak hanya datang dari pengecer, tetapi juga dari para pemilik pangkalan. Supriadi (57), pemilik pangkalan gas elpiji di Jalan Ciputri, Desa Singasari, menyampaikan keprihatinannya mengenai kebijakan ini. Ia menyatakan, “Regulasi baru ini memberikan beban yang berat bagi kami. Dengan terbatasnya jumlah pangkalan yang ada, kami merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.” Ia menambahkan bahwa sebelum kebijakan ini diterapkan, mereka bisa mengirimkan antara 3 hingga 5 tabung ke pengecer setiap kali pengiriman, serta penjualan yang dapat dilakukan lebih fleksibel.

Kebijakan baru ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh tujuan untuk mengontrol distribusi elpiji dan mencegah penyalahgunaan penjualan. Namun, di lapangan, hal ini justru mengakibatkan banyak masyarakat menjadi kesulitan dalam mendapatkan gas elpiji 3 kg. Mayoritas terdiri dari masyarakat yang tinggal di pedesaan, di mana akses transportasi dan jumlah pangkalan gas yang terbatas semakin menambah kerumitan.

Larangan distribusi ini terutama berdampak di daerah-daerah yang hanya memiliki satu pangkalan. Dalam hal ini, Supriadi menjelaskan bahwa dengan hanya satu pangkalan tersedia, para pengecer dan warga menjadi sangat tergantung pada pengiriman yang datang. “Kondisi ini bisa membuat masyarakat kewalahan mencari gas elpiji 3 kg, apalagi jika pangkalan lebih awal kehabisan stok,” tambahnya.

Berikut adalah beberapa poin penting terkait penolakan terhadap kebijakan baru ini dari para pelaku di lapangan:

– Distribusi gas elpiji yang dihentikan ke pengecer menyulitkan pencarian konsumsi masyarakat.
– Penambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh warga untuk mendapatkan gas elpiji yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga normal.
– Kekhawatiran akan sulitnya akses bagi masyarakat yang tidak memiliki kendaraan untuk menjangkau pangkalan.
– Adanya kesepakatan di antara pangkalan dan pengecer untuk solusi distribusi agar lebih mudah bagi masyarakat.

Dalam situasi yang semakin mendesak ini, tantangan besar kini berada di tangan pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan yang dikeluarkan. Para pelaku usaha berharap ada kebijakan yang lebih bijaksana dengan mempertimbangkan kondisi setempat agar kebutuhan masyarakat terhadap gas elpiji tetap terjamin.

Kebijakan yang penuh kontroversi ini mengingatkan kita akan pentingnya komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, terutama terkait dengan kebijakan yang berpengaruh langsung pada kehidupan sehari-hari, seperti pasokan energi rumah tangga. Sementara itu, pangkalan-pangkalan gas elpiji di Tasikmalaya tetap bertahan menuntut perubahan agar masyarakat dapat dengan mudah memperoleh gas elpiji yang menjadi kebutuhan pokok.

Exit mobile version